"halo istriku, aku punya berita baru. kita akan punya sebuah allotment!" kata suamiku dengan nada gembira di seberang telepon. "boleh ya? please?" tanyanya meminta persetujuanku. "what?! kenapa kita mesti punya allotment? what for?" protesku. "karena aku ingin kita berdua mulai berkebun dan menanam sayuran sendiri mulai hari ini", jawabnya pasti sambil tertawa riang meski kurang nyambung dengan pertanyaanku.
gubrag!
gubrag!
allotment arti pendeknya adalah kebun sayur. kata ini hanya ditemui dalam kamus bahasa inggris british, yang artinya kurang lebih adalah tanah milik umum atau pemerintah setempat yang dipetak-petak dan biasanya disewakan ke para individu untuk digunakan sebagai lahan berkebun. untuk seterusnya akan kusebut saja sebagai 'kebun petak' di tulisanku ini.
di inggris, mempunyai kebun petak bukanlah hal yang luar biasa. rata-rata mereka yang tinggal di kota atau di perumahan dengan kebun belakang yang luasnya terbatas, atau mereka yang tinggal di apartemen tanpa kebun, pemerintah di tingkat daerah setara kecamatan atau kelurahan akan menyediakan kebun petak untuk disewa.
tapi pada umumnya para penyewa adalah mereka para pensiunan yang masih ingin beraktivitas untuk mengisi kesibukan sehari-hari, sekalian berolah raga. meski ada juga keluarga muda yang suaminya bekerja, istrinya akan menjadikan kebun petak sebagai sarana pengisi waktu luang yang juga memberikan manfaat dan hasil kebun untuk dikonsumsi sekeluarga.
selain itu tentunya kebun petak bagi sebuah keluarga muda juga bisa menjadi sarana hiburan yang menyenangkan sembari belajar bagi anak-anaknya di akhir pekan, dengan berbagai kegiatan seperti menggali, menanam, menyiangi, memupuk, memanen dan lain-lain yang sangat bermanfaat bagi mereka. rumah kami bukannya tak berkebun, tapi kami berdua lebih suka kebun belakang rumah kami hanya ditanami bunga dan rumput yang terpangkas rapi saja, meski tak seberapa luas juga. rencanaku dulu, aku ingin menanam sayur dan bumbu-bumbu dapur di pot-pot kecil, jadi selain sebagai hiasan, juga bisa dipanen untuk kebutuhan dapurku. lagipula kami hanya berdua.
mempunyai kebun petak juga bukan perkara gampang dan murah biayanya. perlu uang, kerja keras, ketekunan, kerajinan dan komitmen. meski biaya sewanya tak seberapa karena kami hanya perlu membayar tigapuluh poundsterling saja per tahunnya, tapi yang pasti masih banyak biaya-biaya lainnya.
peralatan berkebun seperti gerobak dorong, garpu tanah, sekop dan lain-lain mungkin bisa diperoleh dari tempat pembuangan barang bekas, teman atau keluarga yang sudah tidak memerlukannya lagi, jika memang ada dan tersedia. tapi kalau tidak, bagi kami barang-barang seperti itu harus dibeli. mungkin jika benar-benar dikalkulasi, ujung-ujungnya seluruh biaya untuk membeli peralatan, pupuk, anti-hama, bibit sayuran dan lainnya, bisa dipakai untuk belanja sayuran segar selama bertahun-tahun lamanya. jadi apakah keputusan itu bijaksana?
itulah alasan protesku ke suamiku. kalau bisa praktis, kenapa harus repot? tapi menurutnya, kalau bisa having fun mengolah allotment, kenapa harus praktis? halah!
alasanku lainnya tentunya karena kami berdua sama-sama bekerja, masih jauh dari usia pensiun, belum mempunyai anak, dan masih berkecukupan untuk bisa membeli sayuran segar produksi petani lokal ke supermarket yang harganya juga tidak mahal-mahal amat. satu lagi alasanku pribadi yang tak kalah pentingnya adalah, aku tidak suka sayuran! jreng!
aku tahu.....aku tahu apa yang ada di pikiran kalian. sayuran itu sehat, baik untuk tubuh, penuh vitamin, bla bla bla. seandainya aku bisa menikmati sayuran segar senikmat aku mengunyah daging sapi, seandainya aku bisa makan nasi hanya ditemani salad dan gado-gado tanpa ayam goreng, seandainya aku bisa. tapi aku tak bisa. jika menu makanku tanpa daging satu hari saja, badanku lemas rasanya. sungguh! aku tak pura-pura :-D *lebay dot com*
meski aku pecinta binatang terutama yang berbulu lembut semacam kucing, kelinci dan teman-temannya, tapi aku tak bisa makan tanpa daging. dari lubuk hatiku yang paling dalam, maafkan aku sapi-sapi, ayam-ayam dan domba-domba.
jadi punya kebun petak, buat apa?
semestinya aku punya peternakan saja, bukan kebun yang hanya bisa menghasilkan rupa-rupa sayuran dan buah-buahan yang aku tak begitu suka. tapi, tak mudah pula beternak hewan. aku ingat sewaktu dulu di kampung orang tuaku memelihara ayam yang sampai puluhan jumlahnya. begitu sayangnya kami pada mereka, tiap satuannya kami beri nama. saat lebaran tiba, ibu terpaksa memotong satu atau dua untuk hidangan di meja, tapi kami malah mogok makan tak mau menyentuhnya dan serentak meneteskan air mata. bagaimana mungkin kami tega memakan si A?
belajar dari kesalahan tahun sebelumnya, lebaran berikutnya ibu memutuskan untuk membawa ayam-ayam hidup ke pasar, menjualnya, dan membeli daging ayam dari pasar yang tentu saja berbeda dengan ayam kampung rasanya. baru kami gembira. cara berlogika yang aneh, tapi begitulah keluarga kami adanya.
kembali ke kebun petak.
aku akhirnya setuju karena tak tega melihat wajah gembira dan semangat suamiku. tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa dalam satu tahun aku mungkin hanya akan membantunya berkebun selama dua atau tiga bulan saja. selebihnya, aku takkan kuat berada di udara terbuka ketika hawa dingin inggris mulai menusuk dan membuat hidup siapapun lebih merana. di bulan-bulan itu, mungkin aku hanya akan menungguinya bekerja dari dalam mobil sambil membaca buku dengan pemanas menyala. sungguh tega, tapi apa daya. badan tropisku takkan sekuat badannya. tapi ia setuju saja dengan syarat itu, lalu kamipun pergi melihat kebun petak kami yang baru.
lokasinya tak jauh dari rumah, tapi berada di desa sebelah. di kota kecil kami, karena banyaknya peminat, untuk memperoleh sebuah kebun petak harus antri. saat mendaftar, kami ada di urutan keduapuluh satu. kata petugasnya, mungkin kami hanya akan punya kebun dalam kurun waktu dua tahun. maka suamiku yang tak sabaran, mencari alternatif ke desa-desa tetangga yang ternyata memang tersedia, jadi kamipun tak perlu menunggu lama.
desa di mana kebun kami berada berjarak kurang lebih limabelas menit berkendara, manea nama desanya. tak sulit menemukan kebun petak di desa ini karena memang hanya satu-satunya. letaknya di ujung desa, di tengah-tengah area persawahan milik para petani. akses ke sana hanya melalui jalan sempit yang dibangun seadanya untuk lewat traktor-traktor, jadi agak-agak bergelombang dan naik turun di sana sini.
ada tiga petak yang tak bertuan dan bisa kami pilih dari keseluruhan empat puluh petak yang tersedia. petak-petak itu berada pada tiga lajur yang dinamai lajur a, b dan c, dan dinomori masing-masing dari nomor satu sampai empat belas. seharusnya memang ada empatpuluh dua petak -empatbelas kali tiga-, tapi petak nomor satu a and satu b digunakan sebagai tempat memarkir mobil jika kami ke sana.
kami sepakat memilih petak bernomor c-duabelas, yang sayangnya telah cukup lama terbengkalai dan tak terurus sehingga ditumbuhi berbagai macam tanaman liar dan gulma. tingginyapun tak tanggung-tanggung, hampir setinggi orang dewasa. aku sempat ragu ketika itu. apakah kami akan mampu?
pertama-tama tentunya kami harus membersihkan tanaman liar dan gulma ini, lalu membuangnya jauh-jauh. kedua, kami harus membersihkan tanah dari sisa akar tanaman liar yang masih menggurita di bawah sana. ketiga, kami harus mengolah tanah kebun sampai gembur dan mencampurnya dengan kotoran kuda agar siap ditanami.
keempat, menjaga kebun dari serangan hama, hewan liar dan gulma. kelima, harus rajin-rajin menyirami kebun dengan air yang entah akan kami peroleh dari mana karena tak kulihat sungai di dekat situ. keenam, harus rajin-rajin menyiangi gulma yang tumbuh tanpa permisi hampir setiap hari. baru kemudian kami bisa menikmati hasil berkebun kami. membayangkan kerja kerasnya saja sudah terasa capeknya. apakah kami bisa?
untunglah suamiku adalah sebuah pribadi yang berkomitmen tinggi. kalau iya ya artinya iya. dengan semangat empatlima -meski ia bukan warga negara indonesia- saat aku masih di kantor ia mulai bekerja sendiri membersihkan kebun kami karena ia selalu selesai kerja lebih awal dan lebih sering berkantor di rumah. kadang aku datang membantu meski tak banyak menyumbangkan tenagaku. ajaibnya, hanya seminggu saja seluruh gulma sudah habis terpangkas, mengering dan mati. kini bisa kulihat kebun baru kami mulai berseri tanpa gulma lagi. saatnya kini mengolah tanah yang gersang ini agar siap ditanami, yang tentunya diperlukan kerja yang lebih keras lagi.
ada kebahagiaan dan kepuasan tersendiri terpancar dari wajah suamiku kala seluruh gulma itu sudah tersingkir pergi, meski aku tak banyak membantu. tapi mungkin inilah kepuasan yang ia cari-cari, dan tak mungkin kami beli. ia sungguh menikmatinya, dan itu sudah cukup membuatku gembira. keputusan kami mempunyai kebun petak ternyata tak ada salahnya.
sayangnya, tak semua pemilik petak melakukan hal yang sama seperti kami. lebih banyak dari mereka yang menyewa petani lokal dengan traktor kecilnya untuk membersihkan petak mereka, dan lalu mengolah tanahnya dengan mesin-mesin baja yang tentunya membuat tanah petaknya siap ditanami dalam sekejap saja. menurutku, apa artinya mempunyai kebun sendiri tapi tetap menyewa petani untuk mengerjakannya? bukankah itu sama saja dengan membeli sayuran dari supermarket seperti sebelumnya?
kini kami berdua mulai menikmati berkebun meski masih lama sampai waktunya tanah kami siap untuk ditanami. kami berkomitmen untuk mengerjakan semuanya hanya dengan tangan kami dan alat-alat bantu kecil saja, tanpa melibatkan orang ketiga, traktor atau semacamnya. karena menjadi tak adil rasanya, seperti mengadopsi seorang anak lalu diberikan lagi pada orang lain untuk mengasuhnya. komitmen sejati adalah sebuah janji pada diri sendiri yang harus dipenuhi. itu yang kami yakini. meski setelah musim panas ini, suamiku mungkin harus bekerja sendiri saat hawa dingin mulai menyelimuti negeri. tapi aku berjanji untuk tetap menemani, menyemangati, dan membawakan minum serta sepotong roti.
hingga satu hari nanti, kebun petak kami akan bersemi. dan dengan bangga aku akan berbagi cerita, bahwa suamiku mengerjakan ini semua dengan kedua tangannya. aku? lebih sering membantu dengan do'a saja :-)
...bersambung...
penampakan kebun petak di musim dingin |
di inggris, mempunyai kebun petak bukanlah hal yang luar biasa. rata-rata mereka yang tinggal di kota atau di perumahan dengan kebun belakang yang luasnya terbatas, atau mereka yang tinggal di apartemen tanpa kebun, pemerintah di tingkat daerah setara kecamatan atau kelurahan akan menyediakan kebun petak untuk disewa.
tapi pada umumnya para penyewa adalah mereka para pensiunan yang masih ingin beraktivitas untuk mengisi kesibukan sehari-hari, sekalian berolah raga. meski ada juga keluarga muda yang suaminya bekerja, istrinya akan menjadikan kebun petak sebagai sarana pengisi waktu luang yang juga memberikan manfaat dan hasil kebun untuk dikonsumsi sekeluarga.
selain itu tentunya kebun petak bagi sebuah keluarga muda juga bisa menjadi sarana hiburan yang menyenangkan sembari belajar bagi anak-anaknya di akhir pekan, dengan berbagai kegiatan seperti menggali, menanam, menyiangi, memupuk, memanen dan lain-lain yang sangat bermanfaat bagi mereka. rumah kami bukannya tak berkebun, tapi kami berdua lebih suka kebun belakang rumah kami hanya ditanami bunga dan rumput yang terpangkas rapi saja, meski tak seberapa luas juga. rencanaku dulu, aku ingin menanam sayur dan bumbu-bumbu dapur di pot-pot kecil, jadi selain sebagai hiasan, juga bisa dipanen untuk kebutuhan dapurku. lagipula kami hanya berdua.
mempunyai kebun petak juga bukan perkara gampang dan murah biayanya. perlu uang, kerja keras, ketekunan, kerajinan dan komitmen. meski biaya sewanya tak seberapa karena kami hanya perlu membayar tigapuluh poundsterling saja per tahunnya, tapi yang pasti masih banyak biaya-biaya lainnya.
peralatan berkebun seperti gerobak dorong, garpu tanah, sekop dan lain-lain mungkin bisa diperoleh dari tempat pembuangan barang bekas, teman atau keluarga yang sudah tidak memerlukannya lagi, jika memang ada dan tersedia. tapi kalau tidak, bagi kami barang-barang seperti itu harus dibeli. mungkin jika benar-benar dikalkulasi, ujung-ujungnya seluruh biaya untuk membeli peralatan, pupuk, anti-hama, bibit sayuran dan lainnya, bisa dipakai untuk belanja sayuran segar selama bertahun-tahun lamanya. jadi apakah keputusan itu bijaksana?
itulah alasan protesku ke suamiku. kalau bisa praktis, kenapa harus repot? tapi menurutnya, kalau bisa having fun mengolah allotment, kenapa harus praktis? halah!
alasanku lainnya tentunya karena kami berdua sama-sama bekerja, masih jauh dari usia pensiun, belum mempunyai anak, dan masih berkecukupan untuk bisa membeli sayuran segar produksi petani lokal ke supermarket yang harganya juga tidak mahal-mahal amat. satu lagi alasanku pribadi yang tak kalah pentingnya adalah, aku tidak suka sayuran! jreng!
aku tahu.....aku tahu apa yang ada di pikiran kalian. sayuran itu sehat, baik untuk tubuh, penuh vitamin, bla bla bla. seandainya aku bisa menikmati sayuran segar senikmat aku mengunyah daging sapi, seandainya aku bisa makan nasi hanya ditemani salad dan gado-gado tanpa ayam goreng, seandainya aku bisa. tapi aku tak bisa. jika menu makanku tanpa daging satu hari saja, badanku lemas rasanya. sungguh! aku tak pura-pura :-D *lebay dot com*
meski aku pecinta binatang terutama yang berbulu lembut semacam kucing, kelinci dan teman-temannya, tapi aku tak bisa makan tanpa daging. dari lubuk hatiku yang paling dalam, maafkan aku sapi-sapi, ayam-ayam dan domba-domba.
jadi punya kebun petak, buat apa?
semestinya aku punya peternakan saja, bukan kebun yang hanya bisa menghasilkan rupa-rupa sayuran dan buah-buahan yang aku tak begitu suka. tapi, tak mudah pula beternak hewan. aku ingat sewaktu dulu di kampung orang tuaku memelihara ayam yang sampai puluhan jumlahnya. begitu sayangnya kami pada mereka, tiap satuannya kami beri nama. saat lebaran tiba, ibu terpaksa memotong satu atau dua untuk hidangan di meja, tapi kami malah mogok makan tak mau menyentuhnya dan serentak meneteskan air mata. bagaimana mungkin kami tega memakan si A?
belajar dari kesalahan tahun sebelumnya, lebaran berikutnya ibu memutuskan untuk membawa ayam-ayam hidup ke pasar, menjualnya, dan membeli daging ayam dari pasar yang tentu saja berbeda dengan ayam kampung rasanya. baru kami gembira. cara berlogika yang aneh, tapi begitulah keluarga kami adanya.
kembali ke kebun petak.
aku akhirnya setuju karena tak tega melihat wajah gembira dan semangat suamiku. tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa dalam satu tahun aku mungkin hanya akan membantunya berkebun selama dua atau tiga bulan saja. selebihnya, aku takkan kuat berada di udara terbuka ketika hawa dingin inggris mulai menusuk dan membuat hidup siapapun lebih merana. di bulan-bulan itu, mungkin aku hanya akan menungguinya bekerja dari dalam mobil sambil membaca buku dengan pemanas menyala. sungguh tega, tapi apa daya. badan tropisku takkan sekuat badannya. tapi ia setuju saja dengan syarat itu, lalu kamipun pergi melihat kebun petak kami yang baru.
lokasinya tak jauh dari rumah, tapi berada di desa sebelah. di kota kecil kami, karena banyaknya peminat, untuk memperoleh sebuah kebun petak harus antri. saat mendaftar, kami ada di urutan keduapuluh satu. kata petugasnya, mungkin kami hanya akan punya kebun dalam kurun waktu dua tahun. maka suamiku yang tak sabaran, mencari alternatif ke desa-desa tetangga yang ternyata memang tersedia, jadi kamipun tak perlu menunggu lama.
desa di mana kebun kami berada berjarak kurang lebih limabelas menit berkendara, manea nama desanya. tak sulit menemukan kebun petak di desa ini karena memang hanya satu-satunya. letaknya di ujung desa, di tengah-tengah area persawahan milik para petani. akses ke sana hanya melalui jalan sempit yang dibangun seadanya untuk lewat traktor-traktor, jadi agak-agak bergelombang dan naik turun di sana sini.
ada tiga petak yang tak bertuan dan bisa kami pilih dari keseluruhan empat puluh petak yang tersedia. petak-petak itu berada pada tiga lajur yang dinamai lajur a, b dan c, dan dinomori masing-masing dari nomor satu sampai empat belas. seharusnya memang ada empatpuluh dua petak -empatbelas kali tiga-, tapi petak nomor satu a and satu b digunakan sebagai tempat memarkir mobil jika kami ke sana.
kami sepakat memilih petak bernomor c-duabelas, yang sayangnya telah cukup lama terbengkalai dan tak terurus sehingga ditumbuhi berbagai macam tanaman liar dan gulma. tingginyapun tak tanggung-tanggung, hampir setinggi orang dewasa. aku sempat ragu ketika itu. apakah kami akan mampu?
pertama-tama tentunya kami harus membersihkan tanaman liar dan gulma ini, lalu membuangnya jauh-jauh. kedua, kami harus membersihkan tanah dari sisa akar tanaman liar yang masih menggurita di bawah sana. ketiga, kami harus mengolah tanah kebun sampai gembur dan mencampurnya dengan kotoran kuda agar siap ditanami.
keempat, menjaga kebun dari serangan hama, hewan liar dan gulma. kelima, harus rajin-rajin menyirami kebun dengan air yang entah akan kami peroleh dari mana karena tak kulihat sungai di dekat situ. keenam, harus rajin-rajin menyiangi gulma yang tumbuh tanpa permisi hampir setiap hari. baru kemudian kami bisa menikmati hasil berkebun kami. membayangkan kerja kerasnya saja sudah terasa capeknya. apakah kami bisa?
untunglah suamiku adalah sebuah pribadi yang berkomitmen tinggi. kalau iya ya artinya iya. dengan semangat empatlima -meski ia bukan warga negara indonesia- saat aku masih di kantor ia mulai bekerja sendiri membersihkan kebun kami karena ia selalu selesai kerja lebih awal dan lebih sering berkantor di rumah. kadang aku datang membantu meski tak banyak menyumbangkan tenagaku. ajaibnya, hanya seminggu saja seluruh gulma sudah habis terpangkas, mengering dan mati. kini bisa kulihat kebun baru kami mulai berseri tanpa gulma lagi. saatnya kini mengolah tanah yang gersang ini agar siap ditanami, yang tentunya diperlukan kerja yang lebih keras lagi.
ada kebahagiaan dan kepuasan tersendiri terpancar dari wajah suamiku kala seluruh gulma itu sudah tersingkir pergi, meski aku tak banyak membantu. tapi mungkin inilah kepuasan yang ia cari-cari, dan tak mungkin kami beli. ia sungguh menikmatinya, dan itu sudah cukup membuatku gembira. keputusan kami mempunyai kebun petak ternyata tak ada salahnya.
sayangnya, tak semua pemilik petak melakukan hal yang sama seperti kami. lebih banyak dari mereka yang menyewa petani lokal dengan traktor kecilnya untuk membersihkan petak mereka, dan lalu mengolah tanahnya dengan mesin-mesin baja yang tentunya membuat tanah petaknya siap ditanami dalam sekejap saja. menurutku, apa artinya mempunyai kebun sendiri tapi tetap menyewa petani untuk mengerjakannya? bukankah itu sama saja dengan membeli sayuran dari supermarket seperti sebelumnya?
kini kami berdua mulai menikmati berkebun meski masih lama sampai waktunya tanah kami siap untuk ditanami. kami berkomitmen untuk mengerjakan semuanya hanya dengan tangan kami dan alat-alat bantu kecil saja, tanpa melibatkan orang ketiga, traktor atau semacamnya. karena menjadi tak adil rasanya, seperti mengadopsi seorang anak lalu diberikan lagi pada orang lain untuk mengasuhnya. komitmen sejati adalah sebuah janji pada diri sendiri yang harus dipenuhi. itu yang kami yakini. meski setelah musim panas ini, suamiku mungkin harus bekerja sendiri saat hawa dingin mulai menyelimuti negeri. tapi aku berjanji untuk tetap menemani, menyemangati, dan membawakan minum serta sepotong roti.
hingga satu hari nanti, kebun petak kami akan bersemi. dan dengan bangga aku akan berbagi cerita, bahwa suamiku mengerjakan ini semua dengan kedua tangannya. aku? lebih sering membantu dengan do'a saja :-)
...bersambung...
aku tdnya gak paham apa itu kebun petak, karena bacanya kebalik part 3, 2, 1 he...he...tetep semangat berkebun mb esti n suami...ntar klo aku jln2 ke inggris dibikinin gado2 ya...
ReplyDeletehaha pasti mb Hen, gado gado siap!
ReplyDelete