sejak selesai membaca negeri 5 menara dan ranah 3 warna tahun lalu, aku belum lagi membaca koleksi buku berbahasa indonesiaku yang dibawakan oleh adikku ketika ia berkunjung ke sini. pe er ku ternyata masih banyak sekali. ada 2 buku milik penulis margareta astaman, dan tetralogi klasik milik pak pramoedya ananta toer yang harus kulalap. karena migrain yang kurasakan sejak jumat kemarin belum juga hilang sepenuhnya, hari ini aku memutuskan untuk membaca buku si margareta saja, berjudul excuse-moi, yang memang terlihat ringan topiknya dan tidak terlalu tebal halamannya. foto diunduh dari sini.
kisah-kisah yang tertulis di dalam buku kecil dan tipis ini ditulis dengan gaya tulisan seorang blogger. maksudku, tema tulisannya bermacam-macam dan lebih menyerupai cerita-cerita singkat. artikel-artikel pendek yang temanya hampir mirip lalu dijadikan satu bab di dalam buku. total ada 3 bab dengan topik yang serupa tapi agak berbeda penitikberatannya.
kisah-kisah yang tertulis di dalam buku kecil dan tipis ini ditulis dengan gaya tulisan seorang blogger. maksudku, tema tulisannya bermacam-macam dan lebih menyerupai cerita-cerita singkat. artikel-artikel pendek yang temanya hampir mirip lalu dijadikan satu bab di dalam buku. total ada 3 bab dengan topik yang serupa tapi agak berbeda penitikberatannya.
membaca kata pengantar excuse-moi, aku menjadi sadar betapa ternyata hampir setiap penulis mempunyai dilema serupa untuk menyuarakan isi hatinya lewat kata-kata untuk tema-tema tertentu yang cukup sensitif. tema apalagi yang aku maksud di sini kalau bukan tema sara, hingga si penulis merasa berkewajiban untuk mengucapkan kata 'permisi - excuse moi' terlebih dahulu seolah-olah minta ijin atau setengah minta maaf kepada calon pembaca, agar sebisa mungkin menghindari 'konflik' yang mungkin timbul karena tulisan yang dibuatnya.
aku sendiripun selalu ragu-ragu setiap kali aku ingin berpendapat dan mengeluarkan opiniku mengenai sesuatu yang masih dirasa tabu oleh sebagian masyarakat indonesia untuk dibicarakan, apalagi untuk ditulis dan dipublikasikan. seolah-olah hanya dengan membaca saja mereka bisa menjadi pengkhianat, bejat, orang jahat, atau tiba-tiba menjadi murtad, beralih keyakinan, mendadak kafir, atau langsung masuk neraka.
meski dibutuhkan keberanian yang lebih untuk menulis sesuatu yang bertentangan dengan apa yang selalu diyakini benar oleh kelompok mayoritas di suatu masa dan di suatu tempat, pada akhirnya hak mengeluarkan pendapat adalah milik setiap manusia. hanya saja resikonya mungkin lebih besar dibandingkan jika menulis dengan topik yang ringan-ringan saja. karena menulis topik berat apalagi yang kontroversial seputar sara, selalu menimbulkan pertentangan batin, antara ingin menyuarakan opini, dengan kekhawatiran 'apa kata dunia' nantinya.
aku sendiripun selalu ragu-ragu setiap kali aku ingin berpendapat dan mengeluarkan opiniku mengenai sesuatu yang masih dirasa tabu oleh sebagian masyarakat indonesia untuk dibicarakan, apalagi untuk ditulis dan dipublikasikan. seolah-olah hanya dengan membaca saja mereka bisa menjadi pengkhianat, bejat, orang jahat, atau tiba-tiba menjadi murtad, beralih keyakinan, mendadak kafir, atau langsung masuk neraka.
meski dibutuhkan keberanian yang lebih untuk menulis sesuatu yang bertentangan dengan apa yang selalu diyakini benar oleh kelompok mayoritas di suatu masa dan di suatu tempat, pada akhirnya hak mengeluarkan pendapat adalah milik setiap manusia. hanya saja resikonya mungkin lebih besar dibandingkan jika menulis dengan topik yang ringan-ringan saja. karena menulis topik berat apalagi yang kontroversial seputar sara, selalu menimbulkan pertentangan batin, antara ingin menyuarakan opini, dengan kekhawatiran 'apa kata dunia' nantinya.
yang membuatku senang dengan buku ini, adalah kenyataan bahwa pertentangan batin serupa ternyata tidak hanya kualami seorang diri. membaca lembar demi lembar buku kecil excuse-moi, aku jadi tahu, di luar sana ada juga pribadi yang jiwanya terkungkung dan ingin berteriak keras-keras, menyuarakan isi hatinya. tulisan-tulisan margareta yang ringan, kocak tapi kritis dalam 'mengeluhkan' perlakuan dunia dan kehidupan terhadap dirinya hanya karena ia berasal dari ras minoritas, sungguh enak dicerna.
memasuki bab akhir di mana ia mulai bicara mengenai perjodohan, aku jadi tahu di mana kaki margareta berpijak. ia tidak mengamini pernikahan beda keyakinan (baca postingan ini) yang aku tentu saja tidak setuju dengan pendapat yang ia utarakan, karena aku adalah salah seorang pelaku yang tentunya mempunyai prinsip-prinsip, cerita dan pendapatku sendiri. sah-sah saja, lagipula setiap penulis harus mempunyai opininya sendiri-sendiri, dan itu adalah hak tiap-tiap pribadi.
last but not least, buku ini meski kecil, sangat membuka mata dan banyak hal-hal yang bisa dijadikan bahan renungan untuk melihat pengalaman hidup dari kacamata seorang keturunan tionghoa, eh...cina, yang 'kebetulan' terlahir di bumi indonesia.
.:kalau kamu suka artikel di atas, mungkin kamu suka ini juga:.
Numpang komen..:)
ReplyDeleteBerdasarkan pengalaman pribadi sbg org keturunan chinese wlw lebih sering dikira org Sunda asli.. wkwkwk ..
Saya rasa ada perbedaan pengalaman antara dibesarkan sbg keturunan chinese kalangan menengah ke bawah/miskin dgn keturunan chinese dari kalangan berada. Saya yang pernah menjadi keduanya ( kaya & miskin ) kini paham. Org keturunan chinese kalangan menengah ke bawah rata2 bekerja keras dan rajin. Kesulitan membuat mrk mudah berempati, berbaur, beradaptasi. Toleransi jadi lebih terasa. Namun sbg org keturunan chinese dari kalangan menengah ke bawah, mrk sering jadi sasaran ketidaksukaan masyarakat yang kadang menyalahpahami kebudayaan, perbedaan agama ( mis. Buddha/ Konghucu), penampilan fisik dan tidak jarang juga disebabkan ulah para keturunan chinese dari kalangan berada.. koq?
Pasalnya gini, org chinese dari kalangan berada umumnya jarang bisa berbaur/beradaptasi dg baik di masyarakat sekitar. Dan karena mrk menutup diri di rumah maka biasanya rasa jengkel masyarakat jadi teralih kepada keturunan chinese kalangan menengah ke bawah yg lebih sering berada diantara mereka.
Terus terang saya maklum jg sih kadang2 kenapa org suka jengkel sama org keturunan chinese dari kalangan mampu, soalnya ngomongnya suka kasar meski tentu tidak semuanya seperti itu.. :)
Sejujurnya lebih banyak org keturunan chinese yg berbaur daripada yg belagu..hehehe..dan banyak jg yg berjasa memberikan kontribusi karya/ tenaga pada bangsa ini dimana kami dilahirkan yg membuat Indonesia jadi Tanah Air kami.. :)
Sesungguhnya permasalahan yang ada selama ini saya rasa hanya adu domba atas dasar kepentingan pribadi sekelompok orang. :)
wahhh curahan hati mbak, eh Encik Nat boleh juga nih... setuju bgt Cik, sepertinya memang polanya seperti itu. tapi jangan lupa jg, orang indo-cina dari kalangan berada juga sering merasa serba salah, mau berbaur takut di'apa-apain', tidak berbaur demi keamanan salah juga. aku banyak teman dari dua kalangan soalnya, yg berada dan yg tidak, termasuk pernah pacaran dg salah satu cina-betawi dr kalangan 'bawah' juga jadi tahu persis *halah malah curcol juga* hehehe
DeleteHiiii Nayarini!!! :D Thanks a lot for reading my book yaa...dan trimakasih juga sudah direview :) Dan psstt... saya juga pelaku hubungan beda keyakinan itu lho...hehehe...
ReplyDeletewahhh yg punya buku akhirnya nongol :-) makasih margie udah mampir... doh jd tersanjung hihihi... masih ada satu buku lagi tuh si orchad belum sempet dibaca ;-p wahhh kita satu golongan donk ya, pelaku hub beda keyakinan ^_^ nice to know, jd ga brasa sendirian hehe
Delete