pengin ngetik banyak, tapi masih belum ada waktu karena masih road-trip ke kampung. tapi ada satu pengalaman yang ingin aku bagikan di sini, ketika aku pulang ke jawa minggu kemarin.
ceritanya, aku tidak jadi nyetir sendiri seperti tahun-tahun kepulangan sebelumnya, karena beberapa pertimbangan tertentu. kali ini aku putuskan untuk mencoba memakai layanan jasa angkutan kereta api. supaya nyaman, akupun memilih kelas terbaik yang ditawarkan oleh perusahaan penyedia jasa layanan angkutan umum kereta api di negeri ini, yaitu kereta kelas eksekutif.
seperti bisa diduga, aku memang belum pernah naik kereta jenis ini sebelumnya.
dulu ketika harus pulang kampung setiap lebaran, dan ketika masih harus mengais rejeki di jakarta, aku selalu memilih tiket kereta termurah untuk mengirit ongkos. tak jarang aku harus berhimpit-himpitan duduk di lantai gerbong kereta kelas ekonomi yang berangkat dari stasiun pasar senen ke semarang poncol, demi sebuah kenikmatan bernama mudik lebaran. duduk dan tidur beralas kertas koran dilangkahi para pedagang asongan dan penumpang lain yang bolak-balik ke wc yang super bau karena kehabisan air siraman bahkan sebelum kereta menempuh separo jarak perjalanan, sudah pernah kujalani.
ketika lalu nasibku agak membaik dan mempunyai pekerjaan tetap, gengsiku pun naik dengan sendirinya dan kutinggalkan kereta kelas ekonomi dengan segala dinamikanya, untuk lalu menikmati kenyamanan kereta kelas bisnis. meski kadang masih harus tetap bersaing dengan penumpang lain yang meski tanpa nomor tempat duduk tetap saja diijinkan memegang karcis, naik kereta kelas bisnis membuatku sedikit merasa lebih 'kaya', lebih penting dan agak terhormat.
seperti bisa diduga, aku memang belum pernah naik kereta jenis ini sebelumnya.
dulu ketika harus pulang kampung setiap lebaran, dan ketika masih harus mengais rejeki di jakarta, aku selalu memilih tiket kereta termurah untuk mengirit ongkos. tak jarang aku harus berhimpit-himpitan duduk di lantai gerbong kereta kelas ekonomi yang berangkat dari stasiun pasar senen ke semarang poncol, demi sebuah kenikmatan bernama mudik lebaran. duduk dan tidur beralas kertas koran dilangkahi para pedagang asongan dan penumpang lain yang bolak-balik ke wc yang super bau karena kehabisan air siraman bahkan sebelum kereta menempuh separo jarak perjalanan, sudah pernah kujalani.
ketika lalu nasibku agak membaik dan mempunyai pekerjaan tetap, gengsiku pun naik dengan sendirinya dan kutinggalkan kereta kelas ekonomi dengan segala dinamikanya, untuk lalu menikmati kenyamanan kereta kelas bisnis. meski kadang masih harus tetap bersaing dengan penumpang lain yang meski tanpa nomor tempat duduk tetap saja diijinkan memegang karcis, naik kereta kelas bisnis membuatku sedikit merasa lebih 'kaya', lebih penting dan agak terhormat.
kupalingkan mukaku dengan sedikit pongah dari tatapan gerbong-gerbong dekil dan usang kereta ekonomi yang tetap selalu setia berangkat dari stasiun pasar senen, dan tak pernah kulirik-lirik lagi, sejak aku mampu membeli tiket bisnis dan tak lagi harus berhimpitan dan digencet di kereta yang tak berperikepenumpangan ini. waktu itu, kelas eksekutif masih menjadi mimpi bagiku.
lalu kini, ketika harga kelas eksekutif sudah bisa kujangkau, kepongahanku pun menjadi-jadi. dengan dagu terangkat kulangkahkan kaki menuju gerbong kelas eksekutif yang di bayanganku akan jauh berbeda dengan gerbong ekonomi maupun gerbong bisnis yang akrab dengan masa laluku. ditambah lagi, dari cerita yang kudengar dari kakakku pun, aku yakin kalau kereta ini memang kereta impianku yang pastinya sangat nyaman dibandingkan dengan dua saudara tirinya yang dulu sering kunaiki itu.
namun aku kecewa.
lalu kini, ketika harga kelas eksekutif sudah bisa kujangkau, kepongahanku pun menjadi-jadi. dengan dagu terangkat kulangkahkan kaki menuju gerbong kelas eksekutif yang di bayanganku akan jauh berbeda dengan gerbong ekonomi maupun gerbong bisnis yang akrab dengan masa laluku. ditambah lagi, dari cerita yang kudengar dari kakakku pun, aku yakin kalau kereta ini memang kereta impianku yang pastinya sangat nyaman dibandingkan dengan dua saudara tirinya yang dulu sering kunaiki itu.
namun aku kecewa.
gerbong eksekutif yang dulu sering kuimpi-impikan ketika aku duduk di lantai beralaskan kertas koran, makan nasi dingin dan agak basi dari pedagang asongan dan ketika aku harus berebut kursi tanpa nomor di gerbong bisnis demi sebuah gengsi, ternyata sama sekali tak sesuai dengan bayanganku.
pertama-tama, dari luar gerbongnya tampak biasa-biasa saja. bandingkan dengan kereta-kereta peluru jepang atau kereta cepat di jerman yang tampilan luarnya berkilau dan tampak megah, gerbong kelas eksekutif yang kunaiki kali ini lagi-lagi tampak kusam, berdebu dan membosankan. namun kuhibur hatiku sendiri dan dengan enteng kulangkahkan kakiku memasuki gerbong ini. masih ada sedikit semangat di dalam hatiku karena ini adalah pengalaman pertamaku naik kelas eksekutif dan berkata dalam hati 'ah, luarnya bisa saja dekil, tapi siapa tahu dalamnya mewah'.
tapi lagi-lagi aku kecewa.
pertama-tama, dari luar gerbongnya tampak biasa-biasa saja. bandingkan dengan kereta-kereta peluru jepang atau kereta cepat di jerman yang tampilan luarnya berkilau dan tampak megah, gerbong kelas eksekutif yang kunaiki kali ini lagi-lagi tampak kusam, berdebu dan membosankan. namun kuhibur hatiku sendiri dan dengan enteng kulangkahkan kakiku memasuki gerbong ini. masih ada sedikit semangat di dalam hatiku karena ini adalah pengalaman pertamaku naik kelas eksekutif dan berkata dalam hati 'ah, luarnya bisa saja dekil, tapi siapa tahu dalamnya mewah'.
tapi lagi-lagi aku kecewa.
tampilan dalam gerbong kereta inipun masih biasa-biasa saja. akupun mencari nomorku, duduk dan termenung. tak lama akupun tahu dan mengerti bahwa bedanya kelas ekonomi, bisnis dan eksekutif hanyalah soal teritori saja. di kelas ekonomi, siapa cepat dia dapat tempat duduk, yang tidak kebagian silakan melantai.
di gerbong ekonomi, teritori gerbong milik siapa saja. pedagang boleh keluar masuk seenaknya, bahkan duduk di dalam gerbong yang berjalan hingga menambah sempit ruangan. dan dulu sepertinya jumlah penumpang ekonomi tidak dibatasi (kurang tahu sekarang bagaimana), hingga terkadang sampai ada yang harus rela tidur mendengkur di sambungan antara dua gerbong yang bersuara memekik ketika kereta berjalan, karena begitu banyaknya orang yang naik di sepanjang stasiun tapi tak ada yang turun. jangan pula tanyakan urusan keselamatan jiwa di sini, karena takkan relevan.
beda dengan kelas ekonomi yang terkadang mirip kandang dibanding kereta, kelas bisnis agak manusiawi sedikit. meski masih ada saja yang tiduran di lantai bagi yang tak bernomor tempat duduk, dan pedagang masih lalu-lalang, rupanya harga tiket yang agak sedikit mahal mampu mengurangi jumlah penumpang dengan drastis.
sementara kelas eksekutif yang baru kunaiki, ternyata sama sekali tak mengijinkan pedagang asongan untuk memasuki kabin penumpang. mereka hanya boleh memekikkan jenis dagangan dari pintu masuk, dengan harapan ada penumpang yang tertarik lalu beranjak dari tempat duduknya ke pedagang tersebut dan membeli dagangannya, yang tentu saja jarang sekali terjadi.
selain perbedaan itu, tak banyak bedanya antara kelas ekonomi, bisnis dan eksekutif. mungkin jenis jok tempat duduk yang memang sedikit berbeda dan kelas eksekutif bisa menikmati bantal kecil yang disediakan cuma-cuma namun agak kupertanyakan dalam hati berapa bulan sekali sarung-sarung bantal yang tampak lelah itu dilepas dan dicuci setelah dipakai oleh ratusan penumpang yang berbeda-beda. aku tak mau memikirkannya!
ya, aku kecewa. bayanganku akan kenyamanan kereta kelas eksekutif yang dulu sering kuimpikan, sirna sudah.
salahku juga sebenarnya...
beda dengan kelas ekonomi yang terkadang mirip kandang dibanding kereta, kelas bisnis agak manusiawi sedikit. meski masih ada saja yang tiduran di lantai bagi yang tak bernomor tempat duduk, dan pedagang masih lalu-lalang, rupanya harga tiket yang agak sedikit mahal mampu mengurangi jumlah penumpang dengan drastis.
sementara kelas eksekutif yang baru kunaiki, ternyata sama sekali tak mengijinkan pedagang asongan untuk memasuki kabin penumpang. mereka hanya boleh memekikkan jenis dagangan dari pintu masuk, dengan harapan ada penumpang yang tertarik lalu beranjak dari tempat duduknya ke pedagang tersebut dan membeli dagangannya, yang tentu saja jarang sekali terjadi.
selain perbedaan itu, tak banyak bedanya antara kelas ekonomi, bisnis dan eksekutif. mungkin jenis jok tempat duduk yang memang sedikit berbeda dan kelas eksekutif bisa menikmati bantal kecil yang disediakan cuma-cuma namun agak kupertanyakan dalam hati berapa bulan sekali sarung-sarung bantal yang tampak lelah itu dilepas dan dicuci setelah dipakai oleh ratusan penumpang yang berbeda-beda. aku tak mau memikirkannya!
ya, aku kecewa. bayanganku akan kenyamanan kereta kelas eksekutif yang dulu sering kuimpikan, sirna sudah.
salahku juga sebenarnya...
karena aku lebih dulu mengenal belantara perkeretaapian di benua eropa, yang meski cuma kelas ekonomi tapi mempunyai tingkat kenyamanan yang cukup tinggi.
salahku sendiri juga karena terbiasa dengan kereta inggris yang meski kelas ekonomi tapi joknya bersih dan toiletnya selalu wangi.
salahku sendiri juga karena terlalu berharap banyak dengan bayaran tiket yang kuberikan ke petugas penjual tiket di stasiun kereta, ketika aku memesan kelas eksekutif dan menyadari bahwa harga tiketnya yang dulu pernah kuanggap mahal, ternyata hanya setara dengan tiket kereta ekonomi inggris jarak pendek antara dua kota saja. dengan pemasukan dari harga tiket sebesar itu, tak layak aku menuntut tingkat kenyamanan dan pelayanan seperti yang sudah aku nikmati di eropa. betapa bodohnya aku!
dilemanya tentu saja, kalau harga dinaikkan, pelanggan akan keberatan. jika harga tetap sebesar itu saja, pelayanan dan kenyamanan takkan bisa ditingkatkan. tapi lagi-lagi, tak usahlah kubandingkan dengan kereta-kereta di eropa.
toh nyatanya, biar bagaimanapun kelas eksekutif di sini masih yang terbaik yang bisa ditawarkan, sedikit lebih baik dan jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan kedua saudara tirinya, yaitu kelas bisnis dan kelas ekonomi. jadi kapan kereta-kereta kita bisa senyaman seperti kereta-kereta di eropa? hmmm... mungkin kita harus mulai bermimpi lagi.
toh nyatanya, biar bagaimanapun kelas eksekutif di sini masih yang terbaik yang bisa ditawarkan, sedikit lebih baik dan jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan kedua saudara tirinya, yaitu kelas bisnis dan kelas ekonomi. jadi kapan kereta-kereta kita bisa senyaman seperti kereta-kereta di eropa? hmmm... mungkin kita harus mulai bermimpi lagi.
.:kalau kamu suka artikel di atas, mungkin kamu suka ini juga:.
lapor! kereta ekonomi sekarang (khususnya di stasiun2 besar) memberlakukan karcis yang sesuai jumlah kursi, sehingga yang bisa duduk yang punya karcis aja --> gak dempet2an.
ReplyDeleteSebenernya gak ada yg salah mbak dlm hal ini, cuma yg agak salah (halah) adalah pemerintah yg belum mampu memberikan angkutan massal yg nyaman, sehingga dr tahun ke tahun orang lebih nyaman beli motor & mobil baru, sehingga macet dimana2, makin parah.
wahhh sudah ada perbaikan berarti yaaaa untuk kelas ekonomi... pantesan naik kereta eksekutif aja ga lihat ada turis yg naik, hihihi bagaimana mau pada muter2 indonesia ya kalau kereta yg paling bagusnya aja parah, pakai mobil lewat jalan raya macet, lewat udara...err.. jatuh hiks... #edisi nggrundel kedua :-p
Deletehehe itulah Indonesia KITA mbak :)
Deletekalau perbandingannya sama luar negeri, jauh emang, kalo perbandingannya sama kondisi sebelumnya, ya lumayanlah ada kemajuan, walau belum signifikan :)
selamat bersenang2 di Indo...
eksekutif bagus kok... tapi jangan di bandingkan dengan kereta jepang dan jerman dong... harus dibandingkan dengan kelas lebih rendah... sedikit menghibur diri... :)
ReplyDeleteyah pan emang ditulisnya begitu mas-e hehehehe... *biar ga ditimpuk orang sejabodetabek* hihihi
Delete