Sunday, 29 August 2010

nenekku okem

sayangnya ia sudah meninggal sembilan tahun yang lalu. aku tumbuh dan besar dengannya, dengan ajaran-ajarannya. alasannya sederhana, bapak ibuku dulu sibuk bekerja, jadi kami ber-empat waktu itu, lebih banyak menghabiskan waktu dengan nenek daripada ibu. tapi ternyata bertumbuh bersama nenek, ibunya ibuku, justru membuatku menjadi manusia mandiri lebih dari yang kukira.

nenekku perempuan luar biasa. masa lalunya pernah suram sewaktu nenek harus berpisah dari kakekku, tapi itu tak membuatnya putus asa. wataknya keras bersahaja, tapi hatinya lembut luar biasa. nenekku kurus dan tak banyak makan. sering ia berpuasa meski ramadhan belum tiba. berbukanyapun hanya dengan nasi dan lauk seadanya. makanan yang aneh-aneh ia tak begitu suka.

sejak terpisah dari kakekku, nenekku hidup dengan ibuku, anak bungsunya. setelah ibu menikah dengan bapakku, sebagai pasangan baru, mereka tetap hidup di rumah nenek, sampai dirasa mampu mandiri satu hari nanti. sekalian ada yang merawat kami, cucu-cucunya, sehingga ibu bisa bekerja membantu bapakku menopang ekonomi keluarga.



nenek terbiasa mandiri. ia tak pernah mengeluh, tak pernah meminta tolong, tak pernah bermanja. ia kerjakan segala sesuatu di rumah dengan tangannya. dari urusan sepele rumah tangga, sampai urusan lebih besar yang perlu lebih tenaga. sewaktu kecil aku sering membantunya membuat pagar dari bambu. satu persatu ia rakit bilah-bilah bambu dengan palu dan paku. lalu disapukannya cat murah dari kapur putih dengan kuas jerami bikinan sendiri. kemudian ditancapkannya pagar bambu itu satu persatu. sore hari itu rumah kamipun punya pagar baru.

rumah tua nenek kadang-kadang rewel tak menentu. hujan angin malam itu membuat satu dua genteng atapnya retak rusak termakan waktu. ember plastikpun menjadi solusi sementara waktu itu. paginya setelah bapak dan ibuku pergi berburu sesuap nasi, nenekpun dengan sigap dan gesit memanjat tangga bambu. tak lama kemudian terdengar suara genting tua terlempar ke tanah, pecah berkeping lalu membisu. kini di atap rumah kami telah terpasang genting baru. nenekpun tersenyum puas dengan hasil kerjanya pagi itu. rumah kami takkan bocor lagi untuk sementara waktu.

tak terhitung lagi berapa kali ia melakukan ini itu. aku sekali-kali membantu sebisaku, atau hanya menonton, jika ia tak mengijinkanku. kamu masih terlalu kecil, begitu katanya selalu. sampai tiba waktunya kami harus pindah dari rumah itu. bapak akhirnya mampu memulai kredit perumahan tak jauh dari rumah nenekku. waktu demi waktu berlalu. ternyata kemampuan nenekku menurun padaku. tak segan aku naik ke atap rumah jika ibu memintaku untuk membetulkan saluran air yang tersumbat sesuatu. atau memotong dahan jambu yang mulai rimbun tumbuh dan sedikit mengganggu.

aku ingat banjir besar tahun 1992 telah memaksa ubin-ubin di rumah kami lepas dan perlu diperbaiki. akupun memberanikan diri untuk memasang ubin-ubin itu kembali hanya dengan mengandalkan imajinasi. aku tak pernah belajar bagaimana harus memperbaiki sesuatu. semua terekam begitu saja sewaktu aku dengan tekun mengamati apa yang dilakukan nenekku waktu itu. hingga saat harus membetulkan sesuatu, otak dan tangankupun dengan sendirinya tahu apa yang harus kulakukan. dan aku menikmatinya. aku suka berkarya, aku suka menjadi 'tukang', aku suka memperbaiki atau membuat sesuatu. aku tak ragu menggunakan palu, paku, gergaji, meteran, cat, kuas, semen, pasir, batu, pipa atau kayu.

bagiku 'nukang' itu seni, DIY (do-it-yourself) yang hasilnya selalu kunikmati. memperbaiki yang rusak, membuat yang belum ada menjadi ada dan berguna, merubah yang usang dan lama menjadi baru. tak terkira puasnya, saat aku selesai berjibaku dengan alat-alat itu tuk menghasilkan sebuah mahakarya baru. meski umumnya 'nukang' itu pekerjaan laki-laki, tapi rumus itu tak berlaku untuk nenekku dan aku. lagipula aku tak pernah suka yang umum, membosankan menurutku. mungkin orang melihatnya aneh, tapi siapa peduli. toh aku tak merugikan siapa-siapa, pikirku.

nenekku tlah lama meninggalkanku, namun jasanya tak terkira kepadaku. aku belajar kemandirian darinya, bahwa kita bisa apa saja jika kita mau belajar dan berusaha. tak perlu tergantung pada siapa-siapa, tak perlu harus menunggu untuk melakukan sesuatu, karena kita bisa melakukannya sendiri, apapun itu dan betapapun sulitnya itu. kini aku hidup jauh dari keluarga, takkan ada yang bisa membantu jika aku perlu sesuatu. namun kemandirianku mempermudah segalanya. tak ada yang tak mungkin, tak ada yang mustahil. karena kita pasti mampu, jika kita mau.

yach nenek, aku jadi rindu...

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...