Friday, 10 September 2010

undangan

"Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon untuk TIDAK memberikan sumbangan dalam bentuk apapun. Terima kasih."

kubaca kalimat itu berulang-ulang sebelum akhirnya kupencet tombol 'send'. akhirnya kukirim juga surat elektronik itu ke mas Ib yang mendesain undangan pernikahanku. tadi pagi aku sudah telpon ibu, dan tanpa babibu ibu langsung setuju, karena ia tahu betul sifatku. tak perlu didebat, mungkin begitu pikir ibu. lalu pikirankupun menerawang, teringat kembali ketika aku masih tinggal di rumah bapak dan ibuku di kampung, dulu...

sejatinya kalau kita terima undangan pernikahan dari kerabat, saudara, tetangga atau teman, seharusnya kita senang. sejatinya kalau undangan pernikahan disebarkan itu pertanda dimulainya ucapan syukur dan bahagia atas tibanya perhelatan yang telah ditunggu-tunggu sekian lama. sejatinya jika sebuah undangan dicetak itu pertanda dimulainya woro woro atau pemberitahuan akan diselenggarakannya sebuah acara penuh kegembiraan. sejatinya....yah, sejatinya tak perlu ada yang tidak bergembira atas kegembiraan si pengundang.

namun terkadang yang terjadi justru sebaliknya. dulu, sebuah undangan seringkali akan menjadikan ibuku berpikir dua kali sebelum pergi berbelanja untuk membeli kebutuhan dasar kami sekeluarga, membeli beras untuk makan kami anak-anaknya. dulu, sering ibuku harus berpikir lagi berapa uang yang harus disisihkan untuk 'menyumbang' kedua mempelai yang mengundang ibu untuk datang ke pesta pernikahan mereka dan memberikan restunya.



apalagi kalau mereka sudah pernah datang ke pernikahan kakakku, atau pernikahan ibu jaman dulu. ibuku selalu bilang 'nyumbang' itu sama saja 'bayar utang'. jadi sekalipun harus mengorbankan kebutuhan dasar yaitu makan, 'menyumbang' harus tetap dilakukan, tak enak hati jika datang ke pesta tak memberikan amplop sumbangan. dan jika undangan datang pas kami tak ada uang, bukan rasa senang yang kami rasakan, malah rasa sedih karena ibu akan terpaksa harus cari utangan hanya untuk 'menyumbang'.

sudah bukan menjadi rahasia lagi di kalangan masyarakat kita, mata rantai sumbang menyumbang ini sudah, sedang dan akan terus berputar tak ada ujungnya. satu keluarga akan merasa 'berhutang' jika mereka pernah melakukan perhelatan sebelumnya, entah itu sunatan atau hajatan perkawinan, karena telah banyak tamu undangan yang telah memberikan sumbangan. sehingga jika salah satu tamu itu akhirnya mengundang mereka di kemudian hari, adalah suatu keharusan untuk 'membayar' apa yang dulu pernah di'sumbangkan'.

jika jaman dulu orang akan memberikan kado berupa barang-barang kebutuhan rumah tangga, sekarang tradisi ini telah bergeser menjadi sumbangan berupa uang. orang tak mau lagi terima kado bertumpuk-tumpuk yang ujung-ujungnya tak mereka butuhkan, sehingga tak segan-segan sumbangan yang diharapkan lebih berupa uang sehingga bisa digunakan untuk menutup biaya pernikahan atau sebagai modal awal hidup berumah tangga.

coba baca baik-baik kalimat yang sering kita temui di sudut undangan:
"Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, akan sangat berterima kasih apabila tanda terima kasih yang akan diberikan tidak berupa cenderamata atau karangan bunga".

Bandingkan dengan yang ini:
"Dimohon datang ke perkawinan kami tapi jangan bawa kado, beri kami uang saja".

kalimat yang di atas tentunya terlihat lebih sopan dibandingkan dengan yang di bawah. tapi intinya sama saja.

hingga waktu itu, akupun akhirnya berangan-angan, dan sempat melontarkan keinginanku ke ibu dan saudara-saudaraku. aku waktu itu selalu mengatakan jika kelak aku menikah, aku tak ingin menyusahkan siapa-siapa. aku tak ingin membebani siapa-siapa, termasuk orang-orang yang kuundang ke pernikahanku.

ibu pernah tanya, lho...lha nanti pestamu maunya seperti apa, nduk? aku jawab, aku mau ibu hanya menjadi tamuku, tak perlu repot dan sibuk memikirkan ini itu. tinggal duduk saja dan menikmati acara. aku takkan mengharapkan sumbangan apa-apa dari siapa-siapa, hingga ibu nantinya tak perlu berkewajiban 'membayarnya'. aku tak mau membebani tamuku, aku tak mau pada akhirnya membebani ibuku sendiri.

meski waktu itu aku belum tahu, hidupku akan seperti apa, tapi tekadku bulat dan kuat. aku tak ingin membuat ibu-ibu yang lain menjadi sedih ketika menerima undangan pernikahanku, karena akan terbebani untuk menyisihkan jatah belanja untuk diberikan padaku di hari pernikahanku. aku tak ingin tamu-tamuku yang seharusnya merayakan kegembiraanku di hari bahagiaku harus menggerutu dalam hati karena harus merelakan beberapa lembar uang kertasnya untuk mengisi sebuah kotak upeti.

tak perlu dipungkiri, keluh kesah sering terdengar jika terima undangan bertubi-tubi. belum lagi jika selang waktunya berdekatan satu dengan yang satunya lagi. sering tanpa sadar kita akan menggerutu akan banyaknya pengeluaran ekstra bulan itu karena harus 'menyumbang'. tentunya cerita klasik tentang kebingungan sebaiknya berapa uang yang 'layak' untuk diberikan jika pergi kondangan sudah bukan hal yang asing lagi. seandainya aktivitas sumbang menyumbang ini bisa dipetakan, pastilah akan berwujud benang kusut, karena terlalu banyaknya dan terlalu rumitnya aliran dana dari tradisi sumbang menyumbang yang sudah berurat berakar di masyarakat kita. lalu, apakah ini salah?

tentu saja tidak. tak ada yang salah dengan tradisi, tak ada yang salah dengan budaya. hanya cara kita menyikapinya saja. jika tak suka dengan tradisi, lakukan perubahan. dan itu yang kuyakini. menurutku jika tradisi itu membawa kesenangan, kebahagiaan dan kebaikan, hendaklah dipelihara dan dilestarikan. jika tradisi itu banyak dikeluhkan tetapi orang enggan menentangnya karena 'sudah tradisi', harusnya kita berani melakukan perubahan sekalipun mungkin orang akan menganggap hal ini tidak umum atau aneh.

untunglah prinsipku ini di-amin-i oleh yang maha mengetahui. tak lama lagi perhelatan besarku akan terjadi, tibalah waktunya untuk menerapkan prinsipku sejak dulu, yang terbersit ketika selembar uang sangatlah berarti bagi keluarga sederhana kami. prinsip untuk tak lagi membebani, prinsip untuk memutus mata rantai 'sumbang menyumbang' ini, prinsip untuk mengembalikan lagi makna pernikahan yang sejati.

tentunya telah kupikirkan resiko yang mungkin kuhadapi. orang mungkin akan berpikir kami menolak rejeki, atau terlalu sombong hingga tak mau terima upeti. atau berasumsi kami terlalu kaya hingga tak butuh uang mereka. tak apa. orang boleh berpikir sesukanya, tak perlu tersakiti dengan pikiran mereka. demi niat baik yang telah lama kuyakini, aku berani beda!

8 comments:

  1. NICE & inspiring!
    selamet ya mbak rini, aku ikut seneng dengernya. Mudah2an awet dan bahagia selamanya. Amiin :)
    -shanti dwita-

    ReplyDelete
  2. makasih shanti :-) amin amin amin...

    ReplyDelete
  3. waw.... corngratulation... sangat menginsprisasikan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ucapannya Wahyu. Syukurlah kalau ceritanya bisa menginspirasi :-)

      Delete
  4. Dapat refresnsi kata untuk NB di undangan pernikahan ku nanti mbak. Dulu pikiran ku sama seperti mbaknya sama2 tidak ingin membebani orang lain dikarenakan undangan pernikahan dariku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahhh, selamat menempuh hidup baru ya... selamat juga dengan tidak mau membebani para tamu undangan **toss**

      Delete
    2. saya termasuk orang yang pas pasan waktu itu mempunyai anak 3...kalau dapat undangan rasanya bingung..suatu ketika dpt undangan saya isi amplop dg seadanya ..e pas sampai penerima tamu amplom ditandai/ diberi nomor sesuai no kehadiran di buku tamu..padahal amplop tidak saya beri nama.
      Ke esokan harinya saya berpapasan dg tetangga yg ngundang hajatan pada saya..dia buang muka.
      Saya langsung berdoa mohon sama Allah ya Allah semoga kami diberi rejeki yg lancar sehingga besok apabila menikahkan ke 3 anakku tdk merepotkan tamu yang kuundang.
      Alhamdulillah ke 3 anaku sdh menikah dg tdk meneruma sumbangan dari tamu.
      Bersyukur yang kuasa mendengar doa saya.

      Delete
    3. Alhamdulillah, ikut senang, akhirnya doa ibu dikabulkan.

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...