Thursday, 23 February 2012

junk food

waktu aku masih kecil dan tinggal di kota kelahiranku dulu, aku tidak pernah mendengar yang namanya junk food (makanan sampah - disebut demikian karena rendah nutrisi dan kandungan kalori, lemak jenuh, garam dan gulanya cenderung tinggi). keluarga kami juga jarang sekali makan di luar rumah. nenek yang tinggal bersama kamilah yang memasak hampir tiap hari karena kedua orang tuaku harus bekerja di luar rumah.

menu yang disajikan biasanya ya menu masakan tradisional orang jawa yang nenekku tahu. kalau mau lebih spesifik lagi, menu-menu orang jawa pesisir utara lebih tepatnya. karena meski ayahku asli solo dan makanan daerah selatan biasanya manis-manis, nenekku yang orang pesisir utara lebih cenderung memasak yang asin-asin. seingatku belum pernah sekalipun nenek atau ibuku memasak gudeg jogja asli yang manis itu. sayur tahu tempe berkuah santan encer lebih sering tersaji daripada menu-menu lainnya. di samping itu makanan khas orang jawa bagian utara yang lain adalah sayuran olah, semacam lodeh, pecel sayur, bayam disayur bening, dan ikan asap dibumbu pedas. 

menu makanan di keluarga kami cukup bervariasi, dan lebih mengikuti tradisi dan bersifat musiman. jika musim nangka, ibu belanja nangka muda untuk disayur. jika ikan sedang murah, nenek akan memasak pepes ikan, dan sebagainya. karena waktu itu di rumah kami belum memiliki barang perabotan rumah tangga yang disebut kulkas atau lemari pendingin, semua bahan makanan untuk masakan sehari-hari selalu dibeli hari itu juga. entah dari pasar lokal atau dari penjaja keliling. semua bahan masakan masih segar meski untuk bumbu-bumbu biasanya lebih tahan lama dan bisa dipakai berhari-hari tanpa harus diawetkan.

hidup kamipun normal-normal saja layaknya rata-rata masyarakat di sebuah kota kecil di pesisir utara pulau jawa. kadang-kadang bapak membeli mi instan dari toko cina di pecinan, tapi seingatku waktu itu, mi instan bukanlah makanan favorit kami. kadang-kadang kalau bapakku harus lembur menyelesaikan pesanan sablonan, sementara nasi dan sayur sisa tadi siang sudah habis, bapak baru akan memasak mi instan untuk pengganjal perut di tengah malam. sejatinya memang mi instan didesain untuk situasi darurat seperti itu, meskipun belakangan ini fungsinya bergeser menjadi makanan utama cepat saji.

kami jarang pergi ke restoran, tak pernah sama sekali malah. hanya ke warung-warung tradisional yang biasa berdiri di pinggir jalan utama dan hanya buka setelah maghrib saja. itupun juga jarang, hanya jika bapak atau ibu memperoleh uang lebih untuk mentraktir kami semua makan di luar. lebih-lebih, yang aku pahami sewaktu aku masih kecil, restoran itu adalah tempat makan orang kaya yang pembantu rumah tangganya sedang pulang kampung, jadi tidak ada yang jadi tukang masak di rumah :-)

karena kami tidak kaya dan di rumah selalu ada nenek yang siap jadi tukang masak kapan saja, jadi kami tidak perlu ke restoran. lagipula ibu selalu bilang, harga makanan di restoran itu sangat mahal, bisa untuk belanja satu minggu, begitu selalu katanya. aku sih percaya saja.

begitulah, aku tumbuh tanpa junk food.

ketika mulai bekerja dan pindah ke daerah jabodetabek, di situlah untuk pertama kalinya aku mengenal yang namanya ayam goreng cepat saji, burger cepat saji, pizza cepat saji dan aneka makanan cepat saji - cepat saji lainnya. aku sendiri karena sudah bekerja, pelan-pelan mulai terbawa arus perubahan jaman. pulang kerja memilih untuk makan malam ke kfc dengan alasan terlalu capek untuk memasak makanan sendiri, besoknya makan siang ke hoka-hoka bento, malamnya mampir ke mc donalds. minggu depannya, acara ulang tahun teman kantor dirayakan di pizza hut, bagi-bagi kue di kantor beli di j-co, dan seterusnya.

tak terasa, pola asupan makanku pun berubah. perutku mulai terisi junk food yang sarat msg (penyedap rasa) dan lidahku mulai nagih, minta lagi dan minta lagi. kenyamanan konsep makanan cepat sajipun pelan-pelan menjadi solusi para generasi muda yang mulai berkarir dan berpenghasilan sendiri. selain enak dan instan, kami tak perlu lagi pusing-pusing meracik bumbu-bumbu dan memasak makan malam kami sendiri di rumah seperti orang tua dan nenek kakek kami lakukan tempo dulu. praktis, cepat, hingga kami bisa memanfaatkan waktu luang kami untuk hal-hal lain demi tuntutan kemajuan jaman.

bisnis junk food yang tak lagi laku di negeri asalnya, karena masyarakat negara maju semakin sadar dan lebih berhati-hati dengan asupan nutrisi ke tubuh mereka, kini telah mencengkeram negara-negara berkembang dan meluaskan sayap bisnisnya dengan promosi yang sangat luar biasa. pencitraan bahwa dengan mengkonsumsi junk food itu selain praktis, enak, juga tempat kongkownya keren dan modern di mall-mall ternama di kota besar, semakin menjerat kaum ekonomi menengah dan kaum atas.

kaum menengah atau pekerja menjadikan junk food sebagai solusi atas terbatasnya waktu yang mereka miliki untuk memasak sendiri. bahkan beberapa malah menjadikan konsumsi junk food sebagai gaya hidup, kalau tak mau disebut pemalas dan tak tahu cara memasak di dapur dengan benar.

sementara kaum kaya terjerat junk food karena lokasinya yang selalu ditempatkan di pusat bisnis dan suksesnya pemasaran serta pencitraan konsep junk food sebagai tempat makan yang keren dan berkelas, akhirnya melahirkan budaya baru. dengan mengalihkan meja makan keluarga ke mall-mall besar tiap malam, termasuk mengajak anak-anak mereka untuk makan junk food sedari kecil, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada generasi indonesia ke depannya. ya, generasi yang tumbuh dari junk food.

jangan heran jika seorang bocah dengan bangganya berkata pamer ke teman sekolahnya esok hari "gue donk tadi malem abis makan di kfc ama nyokap bokap"

tak ada lagi tradisi makan malam dengan keluarga di rumah. tak ada lagi bahan makanan segar yang dibeli tiap hari dari pasar tradisional, dan tak ada lagi pemikiran akan asupan yang bergizi untuk menjaga kesehatan.

jangan salahkan amerika yang dengan suksesnya berhasil mengalihkan ladang bisnis yang hampir mati karena tak lagi diminati oleh masyarakatnya sendiri. meski masih ada beberapa gerai junk food yang bertahan di luar negeri, umumnya tempat makan junk food di amerika/eropa adalah pilihan bagi orang yang kurang berada (kalau tak mau disebut miskin) atau para remaja dengan uang saku terbatas.

di inggris, setiap kali aku ke kfc (yang hanya boleh maksimal 1 kali dalam 1 bulan oleh suamiku) rata-rata pengunjungnya memang terlihat 'beda kelas' dengan pengunjung restoran-restoran umum lain yang harga makanannya cenderung lebih mahal. harga junk food di luar negeri cukup murah. karena memang tidak bergizi dan tidak sehat bagi tubuh, sehingga rata-rata hanya masyarakat kelas bawah saja yang mau membeli karena tak ada pilihan lain, selain masak sendiri tentunya yang tak jarang jatuhnya kadang lebih mahal.

sementara di negara-negara berkembang, orang berbondong-bondong makan ke gerai-gerai junk food dengan alasan agar terlihat keren dan punya uang. selain karena makanan cepat saji di indonesia cenderung lebih mahal dibandingkan dengan masak sendiri di rumah, juga karena kesuksesan pencitraan tadi. sayangnya, masyarakat pada umumnya lebih memilih untuk menutup mata dan telinga, tanpa peduli dengan kesehatan dirinya sendiri (termasuk aku, waktu itu ;-p).

sementara junk food di negara maju nasibnya hidup segan mati tak mau, di negara-negara berkembang budaya makan ke mall dan mampir ke gerai junk food makin tumbuh subur. mungkin inilah alasan utama mengapa sebuah harian ibukota hari ini mengangkat topik: di amerika orang miskin lebih gemuk dibandingkan kebanyakan orang kaya.

di indonesia?

kebalikannya. karena dengan terlihat gemuk, orang akan berpikir mereka lebih makmur dan sejahtera hidupnya, padahal bisa jadi gemuknya karena junk food semata. jadi, mari sebisa mungkin jauhi junk food (boleh sih sebulan sekali seperti aku dan kfc :-p). jauhi kegemukan, dan jangan percaya ucapan gemuk itu berarti makmur. coba percayai, gemuk itu sumber penyakit! yang terakhir, jangan percaya makan ke kfc itu keren! karena aku yakin, pemilik kfc sendiri tidak pernah makan kfc :-D



.: kalau kamu suka artikel di atas, mungkin kamu suka ini juga :.

3 comments:

  1. Benar sekali,kemaren dosen saya juga bilang begitu saya baca2 artikel nya juga ternyata benar junk food gak laku di negrinya,dan makanan kalangan bawah namun menjadi primadona makanan para raja di negara berkembang seperti indonesia khususnya,miris memang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Krisna Bayu, makasih sudah mampir. Betul, mereka yang sudah pernah keluar negeri yang bisa membuktikan kalo makanan cepat saji di negara-negara barat itu makanan kaum susah hehe

      Delete
  2. Benar sekali,kemaren dosen saya juga bilang begitu saya baca2 artikel nya juga ternyata benar junk food gak laku di negrinya,dan makanan kalangan bawah namun menjadi primadona makanan para raja di negara berkembang seperti indonesia khususnya,miris memang.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...