minggu kemarin aku blog-walking, iseng-iseng nyasar dan baca sebuah artikel yang memuat salah satu kalimat (persisnya lupa, blog siapa juga lupa hehe) yang kira-kira bunyinya begini: ...perempuan-perempuan jaman sekarang yang ingin melangkahi hegemoni atau dominasi kaum laki-laki...
setelah baca itu, aku koq merasa kalau nada kalimatnya agak-agak 'menyalahkan' gitu ya, bahwa perempuan yang bertindak seperti itu adalah tidak benar. #jleb!
dari kecil aku tumbuh dikelilingi saudara-saudara perempuanku. kami berempat memang perempuan semua, meski akhirnya bapak-ibu dikaruniai putra juga, yang nongol di urutan kelima dan keenam. ibuku dari sononya bertipe agak cerewet (standar ibu-ibu lah), sementara bapakku dari sononya adalah sosok yang pendiam, tak banyak bicara. kami berempat tumbuh dan dibesarkan oleh nenek yang tinggal bersama di rumah kami, karena ibuku sibuk bekerja, jualan bumbu di pasar tradisional (baca: kios). bapakku seorang guru smp yang kata murid-muridnya sih terkenal baik hati, tidak pernah galak, tidak pernah memarahi murid, dan disukai murid-muridnya karena sifat pemdiam dan baik hatinya itu.
latar belakang inilah rupanya yang entah sengaja atau tidak telah membentuk karakter kami, anak-anaknya. karena ibu selalu bekerja sampai sore atau seringkali baru pulang ke rumah saat azan maghrib berkumandang, bapaklah yang seringkali ada di rumah karena sekolahan tempatnya mengajar sudah bubar sejak pukul 1 siang, waktu itu. tak jarang bapak pula yang membantu nenek menyiapkan makan siang atau makan malam untuk kami semua. kuakui, masakan bapakku memang lebih lezat dari masakan ibu :-p #nyuwun pangapunten nggih buk-e
waktu itu memang tak ada pilihan lain bagi ibuku untuk tidak meninggalkan kami anak-anaknya untuk diurus bapakku dan nenekku, karena kondisi ekonomi keluarga kami yang bisa dibilang pas-pasan. untungnya, bapakku adalah seorang yang ringan tangan (eh, bener kan ya ini istilahnya), dalam artian rajin bekerja dan cekatan. mungkin menyadari istrinya jarang di rumah, bapak pula yang mengambil alih semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri (dibantu nenek tentunya, karena kami masih kecil-kecil), seperti memasak, menyapu, mencuci dll.
ketika kami beranjak dewasa dan mulai diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah juga (aku sudah mulai nyuci bajuku sendiri sejak kelas 3 SD), tidak ada pengelompokan jenis pekerjaan di rumah kami. semua orang mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan, jika memang harus dilakukan, tidak peduli itu pekerjaan laki-laki atau perempuan.
dulu sewaktu sma, aku sering ditugasi ibu untuk memangkas pohon di halaman rumah yang terlalu rimbun, membetulkan genteng bocor sampai nukang memasang lantai keramik rumah kami yang sempat rusak karena dilanda banjir bandang. nenekku juga (seperti sudah kuceritakan di artikel: nenekku okem) sangat cekatan dalam mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki, seperti membetulkan genteng, membuat pagar dll, yang sepertinya bakatnya memang diturunkan ke aku (baca: arbour).
besar dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang menganut paham "siapa saja bisa melakukan apa saja" seperti ini, membuatku tumbuh menjadi pribadi yang juga menganut paham kesetaraan gender. rupanya kakak dan adik-adikku pun demikian. tidak ada pengelompokan jenis pekerjaan yang harus kami lakukan atau tidak bisa kami lakukan hanya karena kami terlahir sebagai perempuan (atau laki-laki).
sebaliknya, kami pun memandang laki-laki tidak pula harus mendominasi secara hegemoni terhadap kaum perempuan dalam segala hal, hanya karena mereka terlahir sebagai laki-laki. mungkin karena bapakku lah yang kujadikan figur atau contoh laki-laki yang memandang perempuan setara tanpa pernah menampakkan bahwa egonya lah yang lebih tinggi, jadi aku selalu beranggapan kalau semua laki-laki harus seperti bapakku. #maksa
kami juga jadi tidak pernah merasa 'ada yang salah' ketika melihat seorang laki-laki memasak di dapur (rata-rata top-chef laki-laki kan ya), mencuci, mengepel atau menyapu lantai. karena kami sejak kecil sudah terbiasa melihat bapak kami melakukan itu kala ibu tidak ada di rumah. kami juga sudah terbiasa melihat seorang wanita yang dalam hal ini diwakili oleh sosok ibuku sendiri, yang bekerja di luar rumah demi membantu perekonomian keluarga. persis seperti itulah akhirnya karakter kami terbentuk.
hingga ketika seorang laki-laki merasa 'gerah' ketika melihat perempuan yang menurutnya telah melangkahi hegemoni laki-laki dengan mengambil alih hal-hal yang seharusnya 'hanya' dilakukan oleh kaum laki-laki atau bertindak seperti halnya kaum lelaki, aku jadi kurang respek terhadap laki-laki model 'beginian'. #maap lho ya, opini boleh donk :-p
contohnya nih, ketika lagi asyik chatting tiba-tiba teman laki-laki nyeletuk begini: tapi kan lo perempuan, mana bisa begitu... atau tapi gue kan laki-laki, harusnya perempuan donk yang melakukan itu. sumpe, bikin naik darah! bikin kepala mendidih! #sirem air, cezzzzz...
tapi dilawan juga percuma sih ya, buntutnya malah keki sendiri, hihihi. hingga akhirnya aku memilih untuk berpikir dan merenung saja, hanya untuk memahami di mana sebenarnya perbedaan hakiki antara laki-laki dan perempuan.
beda anatomi tubuh, jelas. tapi selain itu apalagi yang beda? hampir tidak ada. beda kemampuan berpikir, tidak juga. perempuan sudah menjadi presiden, perdana menteri, tokoh dunia, pemimpin pejuang, astronot, ilmuwan, you name it, sejak lama.
jadi apalagi yang laki-laki bisa lakukan tapi perempuan belum bisa? ada ide, ada yang aku belum tahu? -eh, sudah ada perempuan yang mendaki everest belum yah- karena menurutku, hampir tidak ada! apa bedanya perempuan dengan laki-laki kalau begitu? perempuan lebih lemah? tidak juga. belum kenal xena the warrior ya? #dezigggg :-D
hmm... apa mungkin ini cuma soal anatomi tubuh? tapi kalau perempuan bisa hamil, kan laki-laki bisa menghamili #eh #oppps. jadi impas lagi kan, karena masing-masing berkontribusi menurut kodrati anatominya #hehe.
mungkin satu-satunya yang perempuan bisa tapi laki-laki tidak bisa menandingi adalah, kaum perempuan bisa menyusui! laki-laki mana bisa. nah, skornya malah jadi 1-0 kan? lebih hebat perempuan donk yah yah yah :-p #wooohooo #pasang kembang api
kalau diamati, mungkin ya penyebabnya karena kaum laki-laki dari sononya sudah ditanamkan dan dididik oleh tradisi untuk merasa 'lebih' tinggi, merasa superior, merasa di atas, dan merasa berkuasa dibandingkan kaum perempuan. mental hegemoni atau mendominasi inilah menurutku yang menjadi penyebab atau pemicu utama kasus-kasus yang didasari oleh perbedaan gender.
salah siapa? err...siapa ya. tradisi? lingkungan? masyarakat? keluarga di mana ia tumbuh besar? contoh-contoh yang dilihat dan dianut sejak kecil? entahlah! pastinya ada seribu satu jawaban dan kemungkinan.
sehari-hari kita tumbuh dengan selorohan-selorohan yang sudah tidak asing lagi di telinga, seperti:
- ihhh kamu kan laki-laki, kenapa nyapu? jangan mau kalau disuruh nyapu! kurang jantan!
- idihhhh, laki-laki koq sukanya di dapur, masak! bencong dueeeehhhh...
- untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya jadi ibu rumah tangga doank, ngurus anak!
- perempuan tuh kodratnya di rumah, melahirkan, ngurus suami, biar suami yang kerja. perempuan melayani saja sebaik-baiknya..
o ya, jangan pula salah tangkap bahwa kesetaraan gender ini berarti perempuan ingin berkuasa dan menindas kaum laki-laki ya, atau menjadi kualat melawan kodrat alam. sama sekali bukan itu. kesetaraan ini kembali kepada hak hakiki sebagai manusia, yang terlahir sama. tak ada yang lebih tinggi atau rendah. tak ada yang di atas, atau di bawah. tak ada yang lebih dominan melangkahi atau sebaliknya, tertindas. sederhana kan. 50-50 lah :-) #kecuali skor 1-0 itu sih....laki-laki ga bisa menyusui, hihihi
terakhir, masih opiniku, laki-laki indonesia rata-rata belum siap dengan konsep kesetaraan gender ini. masih ada rasa jengah atau malu untuk mengakui jika ada perempuan yang lebih hebat dan menandingi atau mengalahkan mereka, dalam hal apapun.
laki-laki yang tumbuh dengan mentalitas bahwa perempuan itu kodratinya lebih rendah dan di bawah laki-laki, ketika mendapati kenyataan bahwa ada perempuan yang tidak masuk kriteria ini, mereka akan menyangkalnya. jika perempuan itu adalah istrinya, seringkali ego si lelaki terluka dan tak jarang kasus perceraian pun tak bisa dihindari hanya karena ego yang terluka ini #eaaaa
jika saja seluruh lelaki di dunia terbuka matanya dan menyadari bahwa sebenarnya skor mereka tertinggal 0-1 dibandingkan perempuan :-p, dan melihat dunia dari kacamata gender yang setara, sebenarnya hidup akan menjadi jauh lebih simpel dan mudah. kekerasan terhadap perempuan terutama yang sering terjadi di dalam rumah tangga otomatis akan berkurang. dan perempuan akan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menunjukkan kemampuannya, tanpa merasa terintimidasi karena gendernya.
setelah baca itu, aku koq merasa kalau nada kalimatnya agak-agak 'menyalahkan' gitu ya, bahwa perempuan yang bertindak seperti itu adalah tidak benar. #jleb!
dari kecil aku tumbuh dikelilingi saudara-saudara perempuanku. kami berempat memang perempuan semua, meski akhirnya bapak-ibu dikaruniai putra juga, yang nongol di urutan kelima dan keenam. ibuku dari sononya bertipe agak cerewet (standar ibu-ibu lah), sementara bapakku dari sononya adalah sosok yang pendiam, tak banyak bicara. kami berempat tumbuh dan dibesarkan oleh nenek yang tinggal bersama di rumah kami, karena ibuku sibuk bekerja, jualan bumbu di pasar tradisional (baca: kios). bapakku seorang guru smp yang kata murid-muridnya sih terkenal baik hati, tidak pernah galak, tidak pernah memarahi murid, dan disukai murid-muridnya karena sifat pemdiam dan baik hatinya itu.
latar belakang inilah rupanya yang entah sengaja atau tidak telah membentuk karakter kami, anak-anaknya. karena ibu selalu bekerja sampai sore atau seringkali baru pulang ke rumah saat azan maghrib berkumandang, bapaklah yang seringkali ada di rumah karena sekolahan tempatnya mengajar sudah bubar sejak pukul 1 siang, waktu itu. tak jarang bapak pula yang membantu nenek menyiapkan makan siang atau makan malam untuk kami semua. kuakui, masakan bapakku memang lebih lezat dari masakan ibu :-p #nyuwun pangapunten nggih buk-e
waktu itu memang tak ada pilihan lain bagi ibuku untuk tidak meninggalkan kami anak-anaknya untuk diurus bapakku dan nenekku, karena kondisi ekonomi keluarga kami yang bisa dibilang pas-pasan. untungnya, bapakku adalah seorang yang ringan tangan (eh, bener kan ya ini istilahnya), dalam artian rajin bekerja dan cekatan. mungkin menyadari istrinya jarang di rumah, bapak pula yang mengambil alih semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri (dibantu nenek tentunya, karena kami masih kecil-kecil), seperti memasak, menyapu, mencuci dll.
ketika kami beranjak dewasa dan mulai diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah juga (aku sudah mulai nyuci bajuku sendiri sejak kelas 3 SD), tidak ada pengelompokan jenis pekerjaan di rumah kami. semua orang mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan, jika memang harus dilakukan, tidak peduli itu pekerjaan laki-laki atau perempuan.
dulu sewaktu sma, aku sering ditugasi ibu untuk memangkas pohon di halaman rumah yang terlalu rimbun, membetulkan genteng bocor sampai nukang memasang lantai keramik rumah kami yang sempat rusak karena dilanda banjir bandang. nenekku juga (seperti sudah kuceritakan di artikel: nenekku okem) sangat cekatan dalam mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki, seperti membetulkan genteng, membuat pagar dll, yang sepertinya bakatnya memang diturunkan ke aku (baca: arbour).
besar dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang menganut paham "siapa saja bisa melakukan apa saja" seperti ini, membuatku tumbuh menjadi pribadi yang juga menganut paham kesetaraan gender. rupanya kakak dan adik-adikku pun demikian. tidak ada pengelompokan jenis pekerjaan yang harus kami lakukan atau tidak bisa kami lakukan hanya karena kami terlahir sebagai perempuan (atau laki-laki).
sebaliknya, kami pun memandang laki-laki tidak pula harus mendominasi secara hegemoni terhadap kaum perempuan dalam segala hal, hanya karena mereka terlahir sebagai laki-laki. mungkin karena bapakku lah yang kujadikan figur atau contoh laki-laki yang memandang perempuan setara tanpa pernah menampakkan bahwa egonya lah yang lebih tinggi, jadi aku selalu beranggapan kalau semua laki-laki harus seperti bapakku. #maksa
kami juga jadi tidak pernah merasa 'ada yang salah' ketika melihat seorang laki-laki memasak di dapur (rata-rata top-chef laki-laki kan ya), mencuci, mengepel atau menyapu lantai. karena kami sejak kecil sudah terbiasa melihat bapak kami melakukan itu kala ibu tidak ada di rumah. kami juga sudah terbiasa melihat seorang wanita yang dalam hal ini diwakili oleh sosok ibuku sendiri, yang bekerja di luar rumah demi membantu perekonomian keluarga. persis seperti itulah akhirnya karakter kami terbentuk.
hingga ketika seorang laki-laki merasa 'gerah' ketika melihat perempuan yang menurutnya telah melangkahi hegemoni laki-laki dengan mengambil alih hal-hal yang seharusnya 'hanya' dilakukan oleh kaum laki-laki atau bertindak seperti halnya kaum lelaki, aku jadi kurang respek terhadap laki-laki model 'beginian'. #maap lho ya, opini boleh donk :-p
contohnya nih, ketika lagi asyik chatting tiba-tiba teman laki-laki nyeletuk begini: tapi kan lo perempuan, mana bisa begitu... atau tapi gue kan laki-laki, harusnya perempuan donk yang melakukan itu. sumpe, bikin naik darah! bikin kepala mendidih! #sirem air, cezzzzz...
tapi dilawan juga percuma sih ya, buntutnya malah keki sendiri, hihihi. hingga akhirnya aku memilih untuk berpikir dan merenung saja, hanya untuk memahami di mana sebenarnya perbedaan hakiki antara laki-laki dan perempuan.
beda anatomi tubuh, jelas. tapi selain itu apalagi yang beda? hampir tidak ada. beda kemampuan berpikir, tidak juga. perempuan sudah menjadi presiden, perdana menteri, tokoh dunia, pemimpin pejuang, astronot, ilmuwan, you name it, sejak lama.
jadi apalagi yang laki-laki bisa lakukan tapi perempuan belum bisa? ada ide, ada yang aku belum tahu? -eh, sudah ada perempuan yang mendaki everest belum yah- karena menurutku, hampir tidak ada! apa bedanya perempuan dengan laki-laki kalau begitu? perempuan lebih lemah? tidak juga. belum kenal xena the warrior ya? #dezigggg :-D
hmm... apa mungkin ini cuma soal anatomi tubuh? tapi kalau perempuan bisa hamil, kan laki-laki bisa menghamili #eh #oppps. jadi impas lagi kan, karena masing-masing berkontribusi menurut kodrati anatominya #hehe.
mungkin satu-satunya yang perempuan bisa tapi laki-laki tidak bisa menandingi adalah, kaum perempuan bisa menyusui! laki-laki mana bisa. nah, skornya malah jadi 1-0 kan? lebih hebat perempuan donk yah yah yah :-p #wooohooo #pasang kembang api
karena aku termasuk penganut paham kesetaraan gender yang menurutku cukup kuat ini, akupun berusaha untuk selalu konsisten dengan prinsip-prinsipku. tentunya dalam memilih jodoh, aku juga mencari laki-laki yang sependapat denganku. kalau tidak, bisa pecah perang dunia ketiga :-D
contoh nyatanya, kini setelah berumah tangga, segala sesuatu selalu kami lakukan dengan pembagian sama rata, 50-50. dari urusan tetek bengek pekerjaan rumah tangga, hingga urusan yang lebih serius termasuk urusan finansial. 'meski' aku 'hanya' seorang istri, aku juga merasa punya kewajiban yang sama untuk memenuhi kebutuhan kerumahtanggaan seperti halnya suamiku, menurutku sih begitu. selama aku sehat dan mampu, kenapa tidak?
#tapi kan ga semua perempuan seperti sampeyan mbak-e : protes pembaca
pastinya! kalau semua perempuan kayak aku, bisa runtuh dunia persilatan laki-laki, hihihi.
lalu kalau ada tindakan kesewenang-wenangan kaum lelaki terhadap kaum perempuan entah di belahan bumi mana, sepertinya koq non-sense banget ya. kalau ada kekerasan rumah tangga terhadap kaum perempuan karena suaminya bertindak kasar, memukul, bahkan menyiksa istri sendiri, kayaknya koq sudah di luar batas akal sehat. meski sayangnya hal tidak menyenangkan ini masih terus saja terjadi di kehidupan nyata.
contoh nyatanya, kini setelah berumah tangga, segala sesuatu selalu kami lakukan dengan pembagian sama rata, 50-50. dari urusan tetek bengek pekerjaan rumah tangga, hingga urusan yang lebih serius termasuk urusan finansial. 'meski' aku 'hanya' seorang istri, aku juga merasa punya kewajiban yang sama untuk memenuhi kebutuhan kerumahtanggaan seperti halnya suamiku, menurutku sih begitu. selama aku sehat dan mampu, kenapa tidak?
ga adil saja menurutku jika misalnya untuk urusan keuangan, para perempuan langsung bilang, gue kan cewek, elu donk yang bayar. tapi giliran untuk hal-hal yang lain, bilangnya ga bisa beda-bedain gitu donk, apa bedanya cowok ama cewek. hei, ga konsisten itu namanya. yang konsisten donk kalo punya prinsip. #gimana sih
aku meyakini, sebagai pasangan hak kami sama, pun kewajiban kami juga sama. cuci piring gantian, bersih-bersih rumah berdua, masak gantian, nonton tv berdua, bersihin toilet gantian, jalan-jalan berdua, potong rumput gantian, bersih-bersih kebun berdua, setrika gantian, cuci baju berdua #eh mana muat mesin cucinya, hihihi
aku meyakini, sebagai pasangan hak kami sama, pun kewajiban kami juga sama. cuci piring gantian, bersih-bersih rumah berdua, masak gantian, nonton tv berdua, bersihin toilet gantian, jalan-jalan berdua, potong rumput gantian, bersih-bersih kebun berdua, setrika gantian, cuci baju berdua #eh mana muat mesin cucinya, hihihi
enak kan ya. ga ada tugas perempuan, ga ada tugas laki-laki, yang ada tugas berdua :-) #hip! hip! hura!
malah banyak juga kasus di mana si suami lah yang tidak mampu bekerja (entah karena penyakit atau alasan yang lain) dan harus tinggal di rumah merawat anak atau mengerjakan urusan rumah tangga, sementara istrinya yang harus memenuhi segala kebutuhan rumah tangga sehari-hari. apa ini berarti perempuan melangkahi dominasi laki-laki? tentu saja tidak. jadi kalau ada suami yang terpaksa tinggal di rumah jadi bapak rumah tangga, why not?#tapi kan ga semua perempuan seperti sampeyan mbak-e : protes pembaca
pastinya! kalau semua perempuan kayak aku, bisa runtuh dunia persilatan laki-laki, hihihi.
lalu kalau ada tindakan kesewenang-wenangan kaum lelaki terhadap kaum perempuan entah di belahan bumi mana, sepertinya koq non-sense banget ya. kalau ada kekerasan rumah tangga terhadap kaum perempuan karena suaminya bertindak kasar, memukul, bahkan menyiksa istri sendiri, kayaknya koq sudah di luar batas akal sehat. meski sayangnya hal tidak menyenangkan ini masih terus saja terjadi di kehidupan nyata.
kalau diamati, mungkin ya penyebabnya karena kaum laki-laki dari sononya sudah ditanamkan dan dididik oleh tradisi untuk merasa 'lebih' tinggi, merasa superior, merasa di atas, dan merasa berkuasa dibandingkan kaum perempuan. mental hegemoni atau mendominasi inilah menurutku yang menjadi penyebab atau pemicu utama kasus-kasus yang didasari oleh perbedaan gender.
salah siapa? err...siapa ya. tradisi? lingkungan? masyarakat? keluarga di mana ia tumbuh besar? contoh-contoh yang dilihat dan dianut sejak kecil? entahlah! pastinya ada seribu satu jawaban dan kemungkinan.
sehari-hari kita tumbuh dengan selorohan-selorohan yang sudah tidak asing lagi di telinga, seperti:
- ihhh kamu kan laki-laki, kenapa nyapu? jangan mau kalau disuruh nyapu! kurang jantan!
- idihhhh, laki-laki koq sukanya di dapur, masak! bencong dueeeehhhh...
- untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya jadi ibu rumah tangga doank, ngurus anak!
- perempuan tuh kodratnya di rumah, melahirkan, ngurus suami, biar suami yang kerja. perempuan melayani saja sebaik-baiknya..
o ya, jangan pula salah tangkap bahwa kesetaraan gender ini berarti perempuan ingin berkuasa dan menindas kaum laki-laki ya, atau menjadi kualat melawan kodrat alam. sama sekali bukan itu. kesetaraan ini kembali kepada hak hakiki sebagai manusia, yang terlahir sama. tak ada yang lebih tinggi atau rendah. tak ada yang di atas, atau di bawah. tak ada yang lebih dominan melangkahi atau sebaliknya, tertindas. sederhana kan. 50-50 lah :-) #kecuali skor 1-0 itu sih....laki-laki ga bisa menyusui, hihihi
terakhir, masih opiniku, laki-laki indonesia rata-rata belum siap dengan konsep kesetaraan gender ini. masih ada rasa jengah atau malu untuk mengakui jika ada perempuan yang lebih hebat dan menandingi atau mengalahkan mereka, dalam hal apapun.
laki-laki yang tumbuh dengan mentalitas bahwa perempuan itu kodratinya lebih rendah dan di bawah laki-laki, ketika mendapati kenyataan bahwa ada perempuan yang tidak masuk kriteria ini, mereka akan menyangkalnya. jika perempuan itu adalah istrinya, seringkali ego si lelaki terluka dan tak jarang kasus perceraian pun tak bisa dihindari hanya karena ego yang terluka ini #eaaaa
jika saja seluruh lelaki di dunia terbuka matanya dan menyadari bahwa sebenarnya skor mereka tertinggal 0-1 dibandingkan perempuan :-p, dan melihat dunia dari kacamata gender yang setara, sebenarnya hidup akan menjadi jauh lebih simpel dan mudah. kekerasan terhadap perempuan terutama yang sering terjadi di dalam rumah tangga otomatis akan berkurang. dan perempuan akan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menunjukkan kemampuannya, tanpa merasa terintimidasi karena gendernya.
mungkin memang masih butuh waktu lebih lama ke arah sana, tapi aku yakin suatu hari nanti kesetaraan gender ini akan menjadi nyata dan bukan hanya impianku semata. atau mungkin otakku yang terlalu melenceng berpikirnya ya? bagaimana menurutmu?
.:kalau kamu suka artikel di atas, mungkin kamu suka ini juga:.
Aku setuju dengan yang Mbak tulis. Kesetaraan gender bukan berarti sama. Perempuan dan pria tidak sama, mereka berbeda, tetapi mereka setara. Karena setara itulah pria tidak bisa menganggap rendah wanita, menjadikan istrinya babu di rumah, memukul istrinya, dll. Begitu pula wanita. Jangan karena menganggap "setara" lantas jadi manja begitu. Setara ya berarti sejajar. Wanita tidak di atas pria dan tidak di bawah pria. Nah, aku jadi sotoy banget ini. :))
ReplyDeleteyo iiii... ayo kita kampanye kesetaraan gender! hidup KIMI!!!! :-p
DeleteAku setuju juga sama pendapat kalian berdua.. Walau berbeda, senetulnya baik pria maupun wanita yah setara... Gak ada yang lebih rendah maupun lebih tinggi... Why not kalau wanita bisa kuliah tinggi.. Yah Tapi asal kaum wanitanya juga jangan terlalu melawan kodrat aja yah... Kan banyak yang kayak gitu. Hehehe
DeleteBtw salam kenal mbak..
^^
salam kenal dik Nuel :-) mudah-mudahan yang terjadi sih yg baik-baik saja ya soal kesetaraan ini. tujuan utamanya ya supaya dunia lebih maju dan tidak ada lagi kekerasan terhadap kaum perempuan... itu saja sudah senang koq aku #lho...jadi curcol hehe
Deletebetul, sekali ini... kadang kadang artinya kesetaraan bukan sama. tapi menjalankan kewajibannya masing masing dengan baik.. sehingga sama sama memberikan kontribusi yang seimbang baik untuk keluarga dan masyarakat.
ReplyDeletebetul, mas :-) kontribusi, itu kuncinya...
DeleteBaca postingan inih aku jadi semakin yakin bahwa aku gak salah pilih suami...hihihi...
ReplyDeleteAbah termasuk type suami yang gak gengsian sama sekali, gak keberatan ngerjain pekerjaan rumah tangga walopun kerja seharian diluar...
Dulu waktu aku masih bekerja pun begitu, selalu mendukung, rela nunggu kalo harus pulang malam, atau harus kerja di waktu weekend...
Gak kebayang sih kalo nikah ama type orang yang diskriminatip kayak gituh, udah minta talak kali...hihihi...
wahhh, salam buat abah ya biiii... ahh jadi ikutan sayang sama abah #gubragzzzz hahahaha.... nah itu kesiannya sih seringkali si wanita yang entah tadinya gimana critanya terlanjur menikah dengan laki-laki yang diskriminatif, malah ga berani minta talak bi! gimana donkkkk.. apa kudu bibi ajarin dulu, hihihi
Deleteaku nanti pengennya juga gitu, suami gak "risih dan gengsi" untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga :)
ReplyDeletehidup menyusui! #lho
aku doain dapetnya suami seperti harapan Pety...amien amien amiennnn ;-)
Delete