beberapa waktu lalu aku dan beberapa teman seru-seruan ngebahas sebuah topik lewat aplikasi wa. topik ini sensitif sih, tapi aku coba tuangkan di sini dengan catatan, ini berdasarkan observasiku terhadap keluargaku sendiri ya, pemirsa. jadi sudut pandangnya cuma dari sisi itu saja. keluarga lain mungkin beda-beda, tetapi mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanfaat buat kalian yang pengin tahu juga sudut pandang dari pengalaman pribadiku.
nenekku yang sudah almarhumah meninggal tahun 2001, dua dekade lebih yang lalu, resmi bercerai dengan kakekku jauh sebelum aku lahir.
kakek juga sudah meninggal beberapa tahun sebelum nenek, sekitar tahun 1995-an kalau ngga salah ingat. bahkan waktu perceraian itu terjadi, umur ibuku yang anak bungsu dari 7 bersaudara, juga baru beberapa tahun saja, masih kecil banget belum tahu apa-apa.
tiap perceraian pastilah meninggalkan trauma dan luka mendalam terutama luka psikologis, bagi salah satu pihak atau bagi keduanya. yang pasti untuk kasus kakek-nenekku, lukanya terlihat jelas berada di pihak nenek karena alasan perceraian adalah karena kakek nikah lagi alias punya istri muda! #gubrag 😁
berita baiknya, untungnya trauma luka itu engga diteruskan ke kehidupan nenekku setelah bercerai. karena secara logika, pihak yang merasa jadi korban biasanya akan punya beban psikologis yang akhirnya sedikit banyak akan berpengaruh ke bagaimana beban itu dilampiaskan ke depannya setelah pasangan berpisah.
yang jadi korban?
ya biasanya orang paling dekat di kehidupan sehari-hari, terutama anak-anaknya, atau lingkungan keluarga dekat lainnya. karena korban yang mempunyai beban psikologis memang akan sulit mengontrol tingkah laku, perbuatan, bahkan pengambilan keputusan-keputusan hidup sehari-hari tanpa mengaitkan dengan trauma dan luka pasca perceraian.
yang paling sering sih, luka-luka psikologis ini akan membayangi kehidupan pelaku perceraian sesudahnya. lalu trauma luka ini merembet ke pelampiasan emosional ke orang terdekat terutama anak.
akibatnya, si anak juga jadi ikut terluka dan trauma karena hasil pelampiasan dari luka yang diderita orang tuanya. nah, kalau ngga hati-hati, trauma si anak ini akan terus terbawa sampai dewasa dan dilampiaskan atau diteruskan lagi ke generasi berikutnya, demikian terus menerus ngga ada putusnya.
jadi semacam lingkaran setan! 😈
***
tapi syukurlah meski dari titik tolak ketika nenek dan kakekku bercerai, yang seharusnya ada potensi lingkaran setan yang nenekku tanggung dan bisa saja diteruskan ke pihak ibuku, dan dari ibu bisa saja diteruskan ke aku dan saudara-saudara kandungku, kami merasa sangat-sangat beruntung karena lingkaran setan di keluarga kami engga sampai terjadi.
karena meski bercerai, ternyata trauma luka yang diderita nenekku selalu disimpan rapi oleh nenekku sendiri dan ngga pernah dipaparkan ke generasi berikutnya. pengamatanku ini kulakukan sejak aku kecil sejak aku mulai tahu apa artinya punya nenek dan kakek yang ngga tinggal di satu rumah, dan di rumah kakek ada nenek kedua!
aku mulai memahami situasi unik di keluargaku ini sekitaran umur SD lah.
sejak itu aku mulai ngeh luka batin nenek akibat perceraian itu ternyata cukup dalam. setiap kali kami ngobrol dan nyinggung tentang kakek di depan nenek, pasti dia melengos. mukanya penuh kebencian. bahkan setahuku, sampe keduanya meninggalpun mereka ngga pernah bertemu muka lagi sejak cerai jaman baheula. padahal rumah mereka berdua berada di satu kota dan cuma berjarak sekitaran 20 menit doank.
tapi naik becak 😂
nostalgia becak roda tiga |
saking bencinya mungkin ya.
ngga pernah sudi meski cuma buat ngelihat mukanya lagi, hihi. kadang kami cucu-cucunya suka nggodain nenek sih, ngomong kalau kakek kirim salam, padahal engga juga. paling nenek juga cuma nyibir doank, ngga pernah percaya omongan cucunya.
selepas perceraian, ibuku yang waktu itu masih kecil memang jadi punya dua rumah, satu rumah nenekku yang jadi tempat pulang tiap hari, tapi juga ibu seringkali ke rumah bapaknya yang berjarak 20 menit naik becak itu. jalan kaki juga bisa sih, palingan cuma 30-40 menitan.
di rumah kakek, ibu yang anak bungsu dari nenek pertama, malah jadi kakak yang paling tua dari anak-anak kakekku dari istri keduanya. kalau dari istri pertama kakekku punya 7 anak meski yang 5 semuanya sudah meninggal karena berbagai sebab, rata-rata karena sakit katanya. maklum jaman itu orang miskin memang ngga punya kemampuan untuk berobat. jadi cuma ibuku si bungsu dan kakak laki-lakinya yang nomer 4 (kalau ngga salah) yang masih hidup waktu itu. nah, dari istri keduanya, ngga main-main, kakekku punya 10 orang anak lagi. gila yah, kalau ditotal semuanya jadi 17. team sepak bola aja kalah jauh 😂
jadi meski ibuku adalah anak termuda, tapi dia juga merangkap jadi kakak bagi ke-10 adik tirinya. gubrag dah ah.
***
kembali lagi ke soal perceraian.
luka perpisahan yang ditimbulkan dari sebuah kejadian di hidup nenekku ini, bisa dibilang akan selalu membekas sampai dibawa mati. untungnya, kebencian yang dipendam nenek ini ternyata engga ditanamkan di benak ibuku. karena sebagai anak yang ortunya pisah, justru ibu melihat ini sebagai peluang untuk mempunyai dua tempat berteduh mungkin ya. justru dengan mempunyai orang tua yang bercerai, berakhir dengan dua rumah yang bisa dijadikan tempat bernaung.
bosen di rumah emak, pindah ke rumah bapak. kalau di rumah bapak ngga ada makanan, balik lagi ke rumah emak 😁 gitu kali.
hubungan ibu dengan nenekku, kakekku dan istri mudanya juga baik-baik saja sepanjang observasiku waktu masih kecil dan sering diajak ke rumah kakek. kami dulu memang tinggal serumah di rumah nenek sebelum bapakku ambil rumah kredit kpr dan kami semua pindah rumah tahun 1982 pas aku kelas 2 SD. jadi acara ke rumah kakek itu selalu kami tunggu-tunggu, karena biasanya sebelum pulang kakek ngasih duit jajan!
sejak kecil aku udah mata duitan 😂
dan sejak kami sekeluarga pindah ke rumah sendiri dan ngga lagi serumah sama nenek lagi, kami masih tetap rutin selalu diajak berkunjung ke rumah nenek dan kakek serta nenek muda, bersama dengan para cucu-cucunya yang lain. apalagi pas lebaran tiba, keluarga besar pasti ngumpul semua, rame banget!
dan sepengamatanku waktu jaman SD itu, sepertinya engga ada rasa dendam, atau benci, atau pertengkaran. semuanya ramah, dan semuanya seduluran, kata orang jawa.
sepertinya, sebagai bagian dari sebuah keluarga yang tadinya berantakan, kami berhasil mengesampingkan kisah perceraian kakek-nenek, dan bersama-sama sebagai bagian dari keluarga besar bersama-sama memungut puing-puing yang berserakan. kami menjadikan pengalaman pahit kakek-nenek yang berpisah itu menjadi sebuah hubungan kekeluargaan yang manis.
ibuku juga meski melewati berbagai liku-liku perjalanan hidup dengan kakak kandungnya yang cuma satu orang, dan juga dengan ke-10 adik-adik tirinya, sampai sekarang juga masih berhubungan baik. bahkan selalu dianggap sebagai kakak tertua sejak satu-satunya kakak kandungnya meninggal dunia.
sementara nenek, sekali blio bersabda bahwa sejak kakek memutuskan untuk meminang nenek muda, kebencian itu tetap tersimpan dan tak akan tersembuhkan sampai akhir hayatnya, nenek berhasil menyimpan trauma dan lukanya tanpa mencemari kehidupan kami, generasi-generasi berikutnya.
kami beruntung, lingkaran setan kebencian akibat perceraian di masa lalu itu engga diteruskan ke generasi kami. meski ada kasus-kasus lain yang berakhir dengan keretakan seluruh keturunan dari sisi yang bercerai, untungnya hal ini ngga sampai terjadi di keluargaku.
cukup unik kisahnya ya 😍
No comments:
Post a Comment