Saturday, 26 March 2016

bom lagi

#paris #jakarta #ankara #istanbul #brussels

...where is next?

lagi-lagi teroris melancarkan aksi anarkisnya. kali ini yang jadi sasaran adalah ibukota negara belgia, brussel. bahkan di antara para korban ada keluarga satu ibu 2 anak warga negara indonesia yang hendak mudik. lagi-lagi tersangkanya adalah imigran berdarah arab (?), islam (so pasti, hiks), dan penganut gerakan isis, berpaham salafi (dari bukti-bukti yang ditemukan oleh polisi di kediaman mereka).

tapi sudahlah ya, ga usah dibahas kenapa arab, kenapa islam, kenapa isis dan kenapa salafinya. silahkan direnungkan sendiri-sendiri.


dan lagi-lagi dunia terperanjat, mengecam aksi ini dengan berbagai reaksi. lagi-lagi orang-orang pun mulai mempertanyakan dan memperkarakan mengapa kalau kota-kota di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim, perhatian media dan orang-orang penting lebih 'terasa gregetnya' dibandingkan jika kejadiannya di kota-kota yang mayoritas penduduknya muslim (contoh: jakarta, ankara, istanbul). ada apakah gerangan?


dari berbagai sumber


menurut pendapatku, karena begini:

1) korbannya berseberangan paham, jadi lebih terasa elemen permusuhannya

kalo bom-bom itu meledak dan menelan korban di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, ga usah ditanya ada berapa negara muslim di wilayah timur tengah yang sedang dilanda konflik di mana tragedi pengeboman itu sudah seperti kejadian harian, atau di negara muslim yang tidak sedang dilanda konflik seperti indonesia dan turki (29/03/16 update terbaru: irak, pakistan), perhatian media dan publik dunia memang kurang begitu greget.

mungkin karena fobia terhadap islam yang cenderung kuat di negara-negara barat yang bisa kita sebut negara kristen, dibandingkan dengan fobia islam di negara muslim, jadi ada elemen yang bertolak belakang. kan ga lucu fobia islam justru menguat di negara yang mayoritas penduduknya islam. seperti jeruk minum jeruk lah, ga mungkin. atau ibarat magnet, kalau beda kutub, reaksinya kuat, kalau satu kutub akan tolak-menolak.

ingat banget kan kejadian bom di jakarta beberapa bulan yang lalu. bukannya merasa terteror, tapi usaha si teroris malah berakhir tumpul. korban ada tapi ga banyak, dan sesaat setelah situasi terkendali, masyarakat malah menjadikan-nya sebagai bahan guyonan di media sosial. tak ada suasana mencekam atau ketakutan yang ekstrim seperti jika bom-bom itu meledak di negara barat.

mungkin juga karena sebagai sesama muslim, masyarakat di negara islam sudah mengetahui seluk beluk tindakan orang-orang yang meski seagama tapi menyimpang ke arah ekstrimisme ini. jadi tidak ada unsur teror, takut, atau kaget lagi.

lha wong pelakunya rata-rata ya sudah ketahuan dari lapisan masyarakat mana dan tingkat intelektualnya semana. ga heran lah.

2) media yang punya rata-rata orang non-muslim

kalo ini sudah soal siapa yang punya duit dan siapa yang berkuasa. kalo satu negara punya corong pengeras suaranya lebih gede, ampli-nya lebih kuat dan lebih berduit, ya yang corongnya kurang gede, kurang kuat dan kurang berduit jadi ga kedengeran. ya toh? simpel. jadi bukan karena orang-orang baratnya yang ga solider sama turki, atau ga solider sama indonesia, dibandingkan dengan solidaritas yang mereka tunjukkan ke paris dan brussel.

contoh nyata, pas #lgbt boleh menikah resmi di amerika, boooommm langsung heboh, padahal di negara lain udah lama boleh tapi ga heboh (baca postingan tentang pelangi). lalu kejadian bom di jakarta atau ankara dan istanbul, cuma masuk berita di tv inggris sekali-dua doank. pas bom paris dan brussel, langsung live, nonstop seharian. nah, seperti aku yang jarang nonton tv ini malah ga tau kalo turki dibom, taunya malah pas buka fesbuk, itupun ga banyak diekspos.

padahal temenku di fesbuk lumayan global, dari seluruh penjuru dunia. cuma sedkit yang posting menyangkut bom turki. pas bom jakarta mah beda ya, secara aku orang indonesia dan persentase terbesar teman fesbukku dari indonesia ya wajar kalo langsung booming. tapi di inggris sini pas jakarta dibom ya ga booming sama sekali. cuma numpang lewat doank.

selain itu, ditambah lagi pusat media social itu kan di negara-negara maju. tingkat kecanggihan teknologi dan layanan infrastuktur yang sudah bagus juga ada di negara-negara maju, jadi secara teknologi mereka juga lebih kuat. efeknya lebih greget kalo sesuatu terjadi di negara maju dibandingkan di negara yang kurang maju. apalagi di negara antar berantah yang jarang kedengeran namanya. contoh: aruba, belize, curacao, eritrea, dll. ini nama negara apa merek permen sih, ga pernah denger.

dengan klaim sepihak dari teroris kalau mereka itu yang paling bener sedunia dan seolah mewakili islam, meski muslim dunia yang ga setuju teriak sekuat tenaga untuk membela diri sekalipun, tetep ada saja pihak-pihak yang termakan propaganda.

ya karena dibantu oleh media-media itu tadi. apalagi kalo yang punya non-muslim, plus anti-muslim. meski banyak juga kok yang non-muslim tapi ga anti-islam. jadi hati-hati terhadap propaganda yang dihasilkan dari corong-corong media tertentu. ditambah lagi keberadaan media-media yang kuat itu seringkali ditunggangi juga oleh kepentingan politik.

sayangnya sebagai orang awam, seringkali pengetahuan kita tentang hal ini juga kurang baik. jadilah isu-isu agama digoreng bareng dengan sentimen anti-islam dan isu politik. tujuannya apa? demi pengendalian masa dan pengaruh suara. kalau mencakup global, kekuatan ini bisa membahayakan.

yang untung siapa? siapa saja yang bisa memancing di air keruh. semoga kita ga termasuk di dalamnya :-)

3) harga sebuah nyawa beda-beda

suka ga suka, faktanya harga sebuah nyawa di negara maju lebih tinggi dibandingkan di negara kurang maju, atau berkembang, apalagi miskin terbelakang. teorinya sih satu nyawa itu sama saja di mana-mana harganya. tapi kenyataannya ga seindah itu. persoalan ini sudah pernah kutulis di postingan berjudul price tag. yang tertarik dengan pemikiranku silahkan lanjut ke tkp.

lalu, bagaimana nasib para pengungsi muslim di eropa terutama dari syiria, jika fobia terhadap islam semakin meningkat gara-gara aksi bom terorisme yang bertubi-tubi ini?

ya mau ga mau kaum imigran muslim di sini lebih tidak disukai lagi. harus diakui, sangat sulit tugas aparat keamanan di eropa untuk menyisir dan menandai mana muslim yang baik mana yang teroris. kalau terendus, mereka ini pura-pura tiarap, ngumpet dari aktivitas terorisme. kalo aparat meleng, langsung bikin bom dan ngebunuh orang-orang tak berdosa! serba salah kan?

dari tampang lebih sulit lagi. secara muslim eropa yang baik-baik juga banyak yang piara jenggot, bercelana cingkrang, berhijab dan berburka. gimana caranya nebak mana yang tulus di hatinya untuk beribadah, dan mana yang niatnya bikin bom dan ngebunuh orang yang ga sepaham dengan mereka?

dalamnya laut bisa diduga, dalamnya paham ideologi seseorang siapa yang tahu ya kan. apalagi soal ideologi ini bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. tergantung tebel tipisnya tingkat keimanan dan kepercayaan seseorang terhadap sesuatu.

mereka-mereka yang mapan ideologinya tentunya lebih sulit untuk plin-plan. sebaliknya mereka-mereka yang labil, hidupnya tak tentu arah, ga punya pegangan, ga punya impian, nothing to lose lah. ibaratnya mereka ini mati besok juga ga ada yang nyariin, ga ada yang kehilangan dan ga ada yang nangisin. orang-orang seperti ini yang sangat rawan untuk dirasuki paham-paham radikal atau ideologi sesat semacam terorisme.

nah, bagaimana caranya untuk mendeteksi orang-orang labil? susah kan? yang labil pun belum tentu pengin kok jadi teroris.

makanya ketika terungkap kalau salah satu pelaku bom bunuh diri kemarin di brussel itu sebenernya udah pernah ketangkep di turki, sekembalinya dari syiria, lalu diekstradisi ke belgia. oleh polisi belgia dilepas gitu aja karena kurang bukti untuk menahan si tersangka di penjara. nanti kalo ditahan tanpa bukti, dibilang melanggar hak asasi manusia lagi. lha kalo dilepas begitu lalu bikin bom dan ngebunuh puluhan orang, polisi lagi yang disalahin. puyeng kan.

solusi?

impiannya sih dengan ngurangi kesenjangan sosial dan taraf kesejahteraan seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. caranya? runtuhkan dominasi ekonomi kapitalisme, ratakan kesejahteraan, jadikan seluruh dunia berpaham sosialis #eh (bukan komunis ya).

mungkin (masih mungkin) ga akan ada lagi atau minimal mengurangi jumlah orang-orang yang putus asa dalam hidup, hingga dengan sukarela mau jadi pejuang-pejuang jihad salah kaprah seperti para teroris itu. kalo jumlah orang yang putus asa menurun, mana ada sih manusia berotak waras dan hidup bahagia  sejahtera yang mau meledakkan diri sendiri dengan iming-iming bidadari?

6 comments:

  1. Baca beginian tengah malam, uy.. berattt :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. mosok cuma begini udah berat sih Tadz? ini belum ngebahas kenapa arab, kenapa islam, dan kenapa salafi lho, hehehe

      Delete
  2. Dulu (tahun 70-80'an begitulah) kalau ada peristiwa yang dianggap pantas diberi label terorisme, praktis selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berbau 'kiri' (lawan dari 'kanan'). Setelah USSR bubar, stigma seperti itu tentu jadi ganjil, lalu 'tiba-tiba muncul' kelompok ini-itu sebagai musuh bersama baru—lengkap dengan sekian atribut dan jargon khasnya. Kayaknya iya sih, ada kepiawaian yang konsisten dalam me-manage 'istilah'. Asyik artikelnya, Nayarini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. setiap masa, atau periode, atau jaman, memang punya 'musuh kampiun' nya sendiri-sendiri plus teori-teori konspirasi yang berseliweran di belakangnya :-) ada yang lokal, ada yang global. yang tercatat sejarah global mungkin sejak perang dingin itu. lalu disusul ira, taliban, kemudian osama, sekarang isis. entah besok apa...
      terima kasih atas kunjungan dan komennya

      Delete
  3. Hampir selalu, pelaku teror itu orangnya miskin. Bukan sekedar miskin duitnya (Imam Samudra jelas punya duit banyak), tapi mentalnya memang miskin, value yang dianutnya juga miskin.

    Jadi aku rada nggak setuju kalau peningkatan taraf kesejahteraan di seluruh dunia bisa mengurangi teror. Mungkin aku lebih prefer kalau orang lebih mau paham untuk hidup berdampingan rukun dengan orang lain, itu akan mengurangi teror.

    Di negara asal ISIS, konsep hidup berdampingan itu ditendang habis. Tetangga yang Kristen mereka bully, baca al-Qur'an yang tajwidnya beda dikit aja langsung mereka anggap nista. Orang-orang ISIS ini sepertinya nggak suka perbedaan dan ingin orang lain menganut agama yang sama dengan mereka dan dengan cara anut yang sama seperti mereka juga. Kalau begini terus, percuma juga bikin Irak dan Suriah memberi kekayaan karena bukan itu sebetulnya yang mereka butuhkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku sempet diskusi sama temenku gara-gara postingan ini juga bu dok :-)

      kalau versi dia, yang miskin-miskin secara ekonomi ini cenderungnya memang cuma jadi alat, tentara bayaran, atau pion-pion saja. karena yang punya duit atau petingginya biasa ga turun tangan sendiri. mereka mungkin cuma bagian kecil dari sebuah agenda yang lebih besar lagi. argumenku di atas, kalo boleh digarisbawahi sekali lagi, kalau orang-orang yang miskin secara finansial, kekurangan kepercayaan diri dan self-esteem, ga bisa kerja, ga punya harga diri, dan akhirnya desperate itu bisa dikurangi, minimal perekrutan jumlah pion bisa berkurang lah #ngarep.

      setuju juga dengan poin bu dokter di atas, berbarengan dengan itu nilai-nilai kebaikan universal juga harus ditanamkan supaya perbedaan ga menimbulkan konflik, semua hidup rukun.

      cuma ya, namanya manusia selalu punya sifat dasar tamak, rakus, dan ingin berkuasa, ini yang susah hehe. sampe kapanpun, di era manapun selalu akan ada teror dalam berbagai bentuk. untuk saat ini, ya isis itu. aaah, bisa lebih panjang lagi kalau dibahas. sambil ngopi enak nih.

      eh tapi makasih lho, sudah urun rembug :-)

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...