siapa yang suka naik gunung angkat tangan?
aku sih nggak suka! capek tahu, naik gunung itu. gunung beneran lho ini, bukan gunung sahari di jakarta hehe.
yang suka mendaki, suka berpetualang, dan suka menakhlukkan gunung-gunung di indonesia atau bahkan di berbagai penjuru dunia, kalau baca postingan ini bolehlah mencibirku. nggak suka naik gunung kok mau nulis tentang naik gunung, gimana korelasinya itu?
tapi, meski cungkring kurus kering gini, aku pernah lho, mencapai puncak tertinggi hargo dumilah di gunung lawu, yang berlokasi di perbatasan jawa tengah dan jawa timur. sekali-kalinya itu doank dalam sejarah hidupku, aku naik gunung. karena cuma sekali dan tentunya sangat berkesan, makanya mau aku tulis. sekalian dokumentasi, sebelum pikun, haha
jadi pertama-tama, mari kita pelajari dulu beberapa fakta mengenai gunung lawu ini.
kata beberapa sumber yang kira-kira bisalah kita percaya, gunung lawu dulunya adalah gunung api. cuman sekarang lagi tidur alias lagi nggak aktif, ngga kayak gunung merapi di jogja yang masih suka batuk-batuk itu. karena nggak aktif, gunung lawu terbilang cukup aman buat para pendaki. trus, kabarnya gunung lawu ini juga penuh misteri dan angker lho. hiii...seyemmm... #halah
sejarah di balik nama-nama puncak lawu, dan cerita-cerita legenda jaman dulu seputar gunung ini juga bisa kita temukan dan baca di mana-mana. salah duanya ada di tautan ini dan ini. jadi nggak akan aku bahas lagi yah. males ah kopas-kopas tulisan orang, pamali!
kali ini aku akan tulis cerita pengalamanku naik gunung lawu aja ya. pengalaman pribadi lho ini, asli, bukan katanya-katanya atau ceritanya-ceritanya.
***
waktu itu tahun 1993, eh apa 1994 yah? lupa-lupa ingat!
nggak gitu penting lah tahunnya. yang pasti waktu itu aku masih di jogja. baru mulai masuk kuliah semester-semester awal lah. nah, ceritanya sehabis ospek, kakak-kakak kelas ngajakin kita-kita, mahasiswa tahun pertama ini, untuk naik gunung!
modus sebenernya di balik ajakan itu sih sebenernya mereka pada pengen pedekate ke para mahasiswi baru yang sialnya, cuma ada tiga orang! bwahaha...
maklum, kampusku memang unik dan antik. nggak banyak cewek yang mau kan, kuliah teknik nuklir? jadi ya gitu deh, gersang nggak banyak ceweknya. cerita-cerita kuliah selengkapnya sudah pernah kutulis di postingan ini, ini, dan ini. trus aku juga suka nyelipin dikit-dikit cerita masa-masa kuliah di banyak postingan lain. ketik aja di "pengin nyari apa? ketik kata kunci" di sebelah kanan halaman ini. masukin aja kata 'jogja'. dan ta-daaaa.... semua postingan yang berhubungan dengan jogja bakalan nongol!
dan, karena kejadiannya udah lama bangetttttt, foto-foto naik gunungku masih ketinggalan di kampung. maklum waktu itu kameranya masih kamera film roll itu lho, belum digital. jadi sementara ini aku pajang foto-foto orang saja deh ya, disertai tautan ke sumbernya tentu saja. mudah-mudahan mereka berkenan foto-foto gunung lawunya ku'pinjem' paksa haha. ya sekalian promosi blog mereka juga kan :-)
dan, karena kejadiannya udah lama bangetttttt, foto-foto naik gunungku masih ketinggalan di kampung. maklum waktu itu kameranya masih kamera film roll itu lho, belum digital. jadi sementara ini aku pajang foto-foto orang saja deh ya, disertai tautan ke sumbernya tentu saja. mudah-mudahan mereka berkenan foto-foto gunung lawunya ku'pinjem' paksa haha. ya sekalian promosi blog mereka juga kan :-)
singkat cerita, akhirnya serombongan mahasiswa-mahasiswi dari kampusku kira-kira 20-an orang pun setuju untuk mendaki gunung lawu bareng-bareng. rencana pun segera disusun oleh panitia.
karena aku nggak pernah naik gunung sama sekali seumur hidup, kecuali gunung muria di kudus (yang mana gunungnya nggak terlalu tinggi, dan banyak turis yang juga ke puncak muria untuk ziarah jadi dari bawah sampai puncak udah dibangun tangga semen yang gampang diakses), jadi aku cuma ikut-ikutan aja, alias jadi pupuk bawang. apa kata mereka yang udah ahli sajalah aku turuti.
dari persiapan pakaian, jaket, tas ransel, peralatan yang kudu dibawa, dan lain-lain.
nah, dari tiga cewek seangkatan, yang ikut akhirnya cuma dua orang. sisanya semuanya para cowok-cowok. beberapa sudah sangat berpengalaman dan sudah menaklukkan berbagai gunung di penjuru nusantara, bahkan ada juga yang sudah beberapa kali naik-turun lawu, saking seringnya. mereka-mereka ini yang bertugas jadi penunjuk arah, alias jadi pemandu. sementara beberapa yang lain ternyata masih pendaki pemula kayak aku. bedanya, aku cewek, mereka cowok, yang notabene pasti fisiknya lebih kuat lah ya.
***
begitulah, setelah melalui beberapa persiapan dan briefing/meeting kecil-kecilan, apa-apa yang kudu dibawa, diperhatikan dan diingat, serta peraturan-peraturan yang harus ditaati para pendaki, kamipun berangkat pakai bus dari jogja, menuju ke pos awal pendakian.
ada dua jalur yang cukup terkenal untuk mendaki gunung lawu. seperti sudah banyak diposting oleh para blogger yang lain, kedua pos ini bernama cemara kandang dan cemara sewu. ada juga yang nulis jalur ketiga sih, yaitu jalur candi cetho, tapi waktu itu aku kurang tahu hehe.
beda kedua jalur tersebut, untuk jalur cemara kandang landai dan hijau tapi lebih panjang jarak tempuh ke puncak, sementara jalur cemara sewu curam, terjal dan berbatu, tapi lebih pendek. di sepanjang rute, ada beberapa posko kecil untuk beristirahat. foto-foto posko ada di tautan blog orang di foto lawu paling atas kalau mau lihat.
alaminya, untuk para pendaki pemula, rute cemara kandang tentu lebih dipilih. sebaliknya untuk para pendaki pro, mungkin lebih suka lewat jalur cemara sewu. kedua jalur menawarkan pemandangan yang berbeda dan tantangan yang berbeda pula. dengan adanya dua opsi jalur yang sudah umum dipakai para pendaki ini, beberapa tentu ada yang memilih untuk:
- naik dari cemara kandang, turun lewat cemara sewu
- naik dari cemara kandang, turun lewat cemara kandang juga
- naik dari cemara sewu, turun lewat cemara kandang
- naik dari cemara sewu, turun lewat cemara sewu juga
nah, karena pada waktu itu rombongan kami masih ada beberapa yang belum pernah sama sekali naik gunung seperti aku, maka panitia pun memutuskan untuk menggunakan jalur cemara kandang untuk naiknya. landai meski lebih jauh jarak untuk menempuh perjalanan ke puncak. keputusan untuk turun lewat mana, katanya akan diputuskan nanti setelah nyampai di puncak, dan tergantung sikon (situasi kondisi).
begitulah, bermodalkan nekat, akupun ikutan nginthil (mengekor) kakak-kakak kelasku dan teman-teman kampus seangkatanku yang sudah mahir dan terbiasa naik gunung. akunya sendiri cuman modal dengkul, pengalaman nol besar! di pikiranku waktu itu sih, apa susahnya naik gunung, kan cuma jalan kaki doank hehe.
kenyataannnya? ternyata tak semudah yang kubayangkan, saudara-saudara! #mulai_lebay
***
setelah seluruh rombongan melengkapi syarat-syarat pelaporan di posko paling bawah untuk pendakian melalui jalur cemara kandang, dengan semangat empat lima, kamipun mulai berjalan!
berjalan doank kok, apa susahnya ya kan?
waktu itu jam mulai menunjukkan kira-kira mendekati pukul 10 malam! hah? malam? iya. naik gunung memang rata-rata seringnya dilakukan pada malam hari, pemirsa. yang udah piawai pasti ngerti deh. tujuannya apa naik gunung malem-malem, kan jadi nggak bisa lihat pemandangan alam? tujuan utamanya sih supaya bisa ngepasin pas sampai puncak bisa lihat matahari terbit yang katanya sangat spektakulerrrrrr....
makanya para pendaki gunung rela bergelap-gelapan mendaki, ya supaya ngepasin nyampai puncak pas subuh, dan bisa lihat langit merekah merah di cakrawala untuk mengawali sebuah hari. indah sekaliiiii....
naik gunung malam jadinya gelap donk? ya iyalah. gelap banget!
gimana bisa ngelihat jalur pendakian kalau gelap? ya pake senter donk hehe. waktu itu juga nggak semuanya bawa bekal senter. karena kami rombongan, jadi jalannya beriringan gitu. trus ada satu-dua pendaki yang sudah mahir di antara kami jadi pembuka jalan, alias jalan duluan paling depan. kami yang masih pemula di tengah-tengah. setelah kami, ada dua orang lagi paling belakang yang juga sudah berpengalaman, untuk bertugas sebagai tim penyapu. artinya mereka memastikan nggak ada satupun dari kami di rombongan ini yang tertinggal karena sesuatu dan lain hal. misalnya kecapean, mengalami cedera, atau diculik wewe, hehe.
nah, dengan adanya tim penyapu, selambat apapun kami bergerak merayap naik, tim penyapu harus selalu berada di paling belakang rombongan, demi keamanan dan keselamatan.
keren yah panitianya! semua-mua dipikirin sampai segitunya.
karena aku belum pernah naik gunung, akupun dengan semangat membara mulai berjalan sambil ngobrol berhaha-hihi tertawa-tawa dengan teman-temanku. beberapa menit kemudian ketika jalanan mulai menanjak, kami mulai mengurangi ngobrol dan lebih banyak diam. karena belum apa-apa udah mulai ngos-ngosan juga sih haha.
karena malam, di kiri-kanan jalur pendakian cuma terlihat pohon-pohon tinggi besar dan bayangan hitamnya yang kelihatan mengerikan menari-nari di kejauhan dihempus angin. kadang-kadang juga terdengar suara binatang malam yang menjerit-jerit melengking seolah-olah marah karena tidurnya kami ganggu.
kalau sendirian, pasti deh sudah lari terbirit-birit di situasi yang demikian. karena memang kami melewati rute awal yang notabene melintasi tengah-tengah hutan, menyusuri jalanan setapak yang lebarnya nggak lebih dari satu meter, berupa tanah liat yang padat atau bebatuan yang kasar dan licin permukaannya karena sering dilewati pendaki. di satu sisi biasanya adalah jurang yang cukup dalam, sisi satunya lagi tanjakan yang ditumbuhi pohon-pohon besar tadi.
dan ingat, kami mendakinya malam hari ya, gelap!
***
perjalanan berjalan kaki malam itu belum terlalu menguras tenagaku karena memang jalurnya yang lumayan landai, dan karena pada dasarnya aku memang senang jalan kaki. sampai akhirnya suatu ketika di saat sedang berjalan tiba-tiba leherku rasanya seperti tercekik!! wahhhh, aku diserang weweeee....
panik donk...
untunglah salah satu kakak kelas waktu itu menjelaskan dengan tenang dan kalem, kalau lapisan oksigen sudah mulai menipis. jadi kami diminta waspada dan atur nafas dengan lebih baik. woalah, pantesan rasanya kayak hampir kehabisan nafas, ternyata semakin tinggi kita mendaki, oksigennya semakin berkurang. tepok jidat! meneketehe, hehe.... pemula yang sok-sokan ya begini ini deh. cih!
ketika ada beberapa teman lagi yang juga merasa kehabisan nafas dan lehernya seperti tercekik, kamipun istirahat sejenak, untuk atur nafas. nggak bisa lama-lama istirahatnya, kamipun harus berjalan lagi. kalau nggak, bisa telat nyampai ke puncak nggak kebagian matahari terbit, katanya.
oke, oke... (sambil ngos-ngosan)
ternyata naik gunung itu nggak bisa cuma modal jalan kaki doank haha...#dikeplak
untunglah kami dikelilingi oleh beberapa orang pendaki yang sudah paham jalur pendakian dan sudah punya ilmu pengetahuan banyak tentang gunung. kalau nggak, wuihhh, bisa membahayakan keselamatan lho. makanya bagi para pemula yang pengin naik gunung, jangan pergi sendirian atau cuma dengan teman yang belum pengalaman yah. minimal harus ada satu yang sudah mahir! catetttt...
***
malam semakin beranjak naik, bulan yang bersinar malam itu pelan-pelan bergeser posisinya di cakrawala. pelan tapi pasti, kamipun merayap menaiki punggung gunung lawu yang katanya angker itu. ada beberapa pos yang kami lewati di mana para pendaki bisa beristirahat. tentu saja di perjalanan kami juga bertemu atau bahkan disalip oleh rombongan pendaki-pendaki yang lain. malam itu lumayan ramai memang.
bukan malam satu suro sih sebenernya waktu itu. karena katanya kalau malam satu suro lebih ramai lagi lho, gunung lawu. katanyaaa. bahkan katanya ada yang jualan juga! hmm, bawa dagangannya gimana tuh ya kalau aku bawa badan aja susyahhh haha.
seiring bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut, jenis pepohonan yang kami lewati pun pelan-pelan juga berubah. kalau di bawah tadi pohonnya tinggi besar, pelan tapi pasti pohon-pohon di sekitar kami menjadi semakin pendek, dan akhirnya di pos terakhir kami cuma dikelilingi semak belukar.
tapi bukan semak sembarang semak, karena semak-semak mendekati puncak lawu adalah semak tercantik di dunia, yaitu semak bunga edelweis!
bunga edelweis yang juga sering disebut sebagai bunga keabadian, karena kalau dipetik dan dikeringkan nggak bakal rontok, katanya hehe, para pendaki gunung suka ngerampas, metik-metik, dan dengan semena-mena panen edelweis meski pas bukan musim berbunga sekalipun. buat kalian, kalau nanti naik gunung yang ada edelweisnya, jangan metik-metik yah. nikmati aja keindahan alam dengan mata kepala, jangan keburu nafsu untuk ngerusak atau ngebawa pulang keindahan itu. nanti yang lain nggak kebagian donk #sok_bijak :-)
aku waktu itu kayaknya bawa pulang oleh-oleh seikat edelwies juga sih, nggak metik donk, tapi beli di penjual bunga di bawah gunung. ini juga praktek yang nggak cinta alam sebenernya. karena banyak yang beli, jadi para penjual ini yang jadi tukang metik. sama aja yah ngerusak juga. lain kali jangan beli juga berarti. eh tapi itu kan mata pencaharian mereka, gimana donk.
ah, jadi serba salah hehe.
dan aku inget banget waktu itu, ketika kami istirahat di posko terakhir sebelum puncak, salah seorang teman yang kebetulan bawa-bawa termometer (hihi kurang kerjaan ya), tapi bermanfaat sih termometernya, di posko itu aku sempat ngalamin kedinginan akut pertama kali dalam sejarah hidupku. padahal suhu 4 derajat selsius doank lho, kata termometer!
terlahir di negara tropis, belum pernah keluar negeri sama sekali waktu itu, nggak pernah sekalipun pergi ke tempat yang sangat dingin, apalagi sampai terkunci di dalam freezer haha, badanku sempat syok kena suhu 4 derajat. mungkin juga karena perlengkapan naik gunungku kurang yahud.
ya namanya juga bukan pencinta alam sejati, mana punya jaket-jaket mahal yang berbahan thermal anti-dingin itu. kalau nggak salah aku waktu itu cuma pakai jaket tebal warna merah-biru donker, itupun hasil minjem kakak sepupuku yang kebetulan juga lagi kuliah di jogja, pakai topi maling (balaklava, yang cuma kelihatan mata itu lho), sama pake celana panjang training yang buat olah raga.
nggak banget kan?
untunglah aku nggak sampai terserang hipotermia (hypothermia), apalagi frostbite! oi, oi, oi, ini naik lawu oi, sebuah gunung di katulistiwa, bukan himalaya, apalagi everest! sok banget, frostbite segala haha.
tapi beneran lho, kalau nggak pernah kena dingin tahu-tahu harus melawan suhu 4 derajat itu siksaannya sungguh aduhai, nusuk sampai ke tulang belulang. sekarang sudah tinggal di inggris lama, suhu 4 derajat sih masih bisa kibas rambut dan jalan kali cantik pakai legging doank nggak pake sarung tangan. ngalamin suhu minus duapuluh aja masih santai, haha. nggaya kan?!
***
begitulah, saat itu aku inget banget salah seorang kakak kelasku yang baik hati dan sudah mahir, begitu tahu beberapa dari kami termasuk aku nggak sanggup jalan kaki lagi karena terlalu menggigil, segera mengeluarkan senjata andalan pendaki gunung kalau kedinginan, yaitu parafin saudara-saudara! bentuknya mirip lilin (emang semacam lilin itu sih), tapi dicetak kotak-kotak gitu. begitu dibakar, kamipun berkerumun mengelilingi api unggun kecil dari parafin, untuk menghangatkan badan.
dan manjur!
begitu hawa hangat menjalar dari api unggun parafin menembus kulit dan badan, serasa seperti baterei mau habis ketemu charger, hehe, nggak banget kan analoginya. tapi ya gitu deh, kami jadi semangat lagi pokoknya. mana udah di pos paling akhir juga kan, sedikit lagi puncak udah menunggu. apalagi di ufuk sana, sudah kelihatan semburat oranye, wahhh, bisa nggak kebagian matahari terbit kalau nggak buru-buru ke puncak.
kami pun mulai berjalan lagi. terseok-seok!
dari ht atau walkie talkie yang dibawa panitia, yang jadi sarana berkomunikasi dari pemandu paling depan dengan penyapu ranjau di paling belakang, beberapa orang di barisan depan sudah ada yang nyampe puncak duluan lho, ternyata.
mereka yang udah jago naik gunung tuh kadang malah lari-larian naik turun ngecek situasi dan ngebantuin orang-orang yang payah kayak aku ini untuk terus berjalan, nggak nyerah haha. atau kadang mereka estafet parafin, atau air minum, atau makanan kecil gitu deh, bagi-bagiin ke rombongan. padahal barisan paling depan ke yang paling belakang bisa jauh banget lho, kepisahnya. mana mau yang udah jago naik gunung nungguin barisan belakang yang jalannya ngerayap kayak siput gitu. aku termasuk si siput itu, hehe.
tapi memang pendaki sejati itu selalu punya rasa kesetiakawanan yang tinggi yah, acung jempol deh buat mereka. saking lincahnya, para jagoan ini tuh mirip kambing gunung deh, hehe.
nggak segan-segan para kambing gunung ini naik turun ngecek barisan, nggak segan-segan pula mereka ngebantuin yang kepayahan, bahkan nolong rombongan lain sekalipun, kalau ada yang butuh bantuan. keren lah pokoknya, kambing eh anak gunung itu :-)
***
akhirnya, setelah berjalan terseok-seok semalaman nggak tidur, menggigil kedinginan, dan berkali-kali sempat putus asa bahkan sampai pada satu waktu pengin balik kanan turun lagi balik ke jogja, yang mana aku langsung dibentak sama panitia karena cengeng haha, sampai akhirnya cuma bisa mengutuk diri sendiri kenapa mau aja sok-sokan ikutan naik gunung padahal nggak pernah jalan jauh sama sekali sebelumnya, akhir perjalanan pun mulai terlihat di kejauhan.
puncak tertinggi lawu hargo dumilah sudah nggak jauh lagi, pemirsa!
dan karena hari sudah mau menjelang pagi, samar-samar puncak gunung lawu pun mulai kelihatan di keremangan fajar. tapi, tapi, tapi, meski udah kelihatan samar-samar, ternyata untuk jalan ke puncak masih jauh aja lho, apalagi kaki udah letoy banget dan tenaga udah habis-habisan gini, belum lagi hawa pagi makin tambah dingin aja. payah banget aku yah, haha. dan bisalah ditebak akhir cerita naik gunung yang cemen banget ini, aku nyampe ke puncaknya telat donk!
meski telat, tapi karena udah ngelewatin posko paling akhir, masih bisa sih menikmati matahari terbit yang spektakuler itu, pake mata kepala sendiri. dan karena jaman itu belum musim kamera digital, apalagi kamera hp, lha hp aja nggak ada yang punya, belum diproduksi haha, jadi foto-fotonya ya ga sering-sering, supaya film roll nya nggak cepat habis.
karena nggak sibuk foto-foto, nggak sibuk jepret-jepret, apalagi sibuk selfie pake tongsis, jadi jaman itu kami bisa menikmati keindahan alam dengan lebih khusyuk, dibanding generasi sekarang, generasi selfie. yang pastinya kalau naik gunung lebih sibuk selfie daripada menikmati alam. sirik aja sih aku padahal karna waktu itu foto-fotonya nggak banyak #krik
***
ketika akhirnya aku nyampe di puncak, foto di sebelah tugu hargo dumilah untuk kenang-kenangan, lalu tepar terkapar di tanah ngumpulin tenaga dan nafas, rombongan barisan depan yang nyampe duluan bahkan ketika kami masih istirahat kedinginan di posko akhir, pamit udah mau turun duluan. kelamaan nungguin kami katanya, ampe bosen di puncak nggak tau mau ngapain haha. karena emang area puncak nggak luas sih. kalau kebanyakan pendaki dari banyak rombongan pada ngumpul semua di sana ya rada sesak juga.
sementara aku dan beberapa teman istirahat, seorang kakak kelas iseng-iseng bikin percobaan sains. pengin ngebuktiin kalau air itu bisa mendidih di bawah suhu 100 derajat, di atas ketinggian tertentu di atas permukaan air laut. dan puncak gunung adalah tempat yang ideal untuk itu. sampai bela-belain lho dia bawa panci dari kos-kosan di ranselnya haha. niat bangetttt saintis yang satu itu.
eh, tapi kok si mas itu sekarang malah nyaleg yah, pindah haluan ke politik, piye toh mas, hihi.
kira-kira dua jam kemudian, kami rombongan siput dan penyapu ranjau pun mulai berjalan turun. karena pengin nyampai bawah cepet, panitia memutuskan untuk turun lewat rute pendek tapi terjal, cemara sewu. jadi kami bener-bener muterin gunung lawu karena naik dari jawa tengah turun ke jawa timur hehe.
dan karena hari sudah pagi dan matahari bersinar terang benderang, danau sarangan yang terkenal indah dan cantik itu bisa kelihatan jelas dari atas gunung, serta bisa kita nikmati selama perjalanan rute turun ke cemara sewu. asyik kan?
nggak juga sih!
turun gunung itu ternyata lebih menyakitkan daripada naik gunung pemirsa, haha. ketipu lagi aku lah ceritanya. kirain turun mah lebih gampang gitu tinggal ngegelinding doank apa susahnya haha. ternyata melewati bebatuan curam, terjal, berliku dan cadas itu harus ekstra hati-hati. kalau tergelincir, kepeleset, patah kaki, keseleo, tamat lah! harus ditandu, nggak bisa jalan.
nah, dari tiga cewek seangkatan, yang ikut akhirnya cuma dua orang. sisanya semuanya para cowok-cowok. beberapa sudah sangat berpengalaman dan sudah menaklukkan berbagai gunung di penjuru nusantara, bahkan ada juga yang sudah beberapa kali naik-turun lawu, saking seringnya. mereka-mereka ini yang bertugas jadi penunjuk arah, alias jadi pemandu. sementara beberapa yang lain ternyata masih pendaki pemula kayak aku. bedanya, aku cewek, mereka cowok, yang notabene pasti fisiknya lebih kuat lah ya.
***
begitulah, setelah melalui beberapa persiapan dan briefing/meeting kecil-kecilan, apa-apa yang kudu dibawa, diperhatikan dan diingat, serta peraturan-peraturan yang harus ditaati para pendaki, kamipun berangkat pakai bus dari jogja, menuju ke pos awal pendakian.
ada dua jalur yang cukup terkenal untuk mendaki gunung lawu. seperti sudah banyak diposting oleh para blogger yang lain, kedua pos ini bernama cemara kandang dan cemara sewu. ada juga yang nulis jalur ketiga sih, yaitu jalur candi cetho, tapi waktu itu aku kurang tahu hehe.
beda kedua jalur tersebut, untuk jalur cemara kandang landai dan hijau tapi lebih panjang jarak tempuh ke puncak, sementara jalur cemara sewu curam, terjal dan berbatu, tapi lebih pendek. di sepanjang rute, ada beberapa posko kecil untuk beristirahat. foto-foto posko ada di tautan blog orang di foto lawu paling atas kalau mau lihat.
alaminya, untuk para pendaki pemula, rute cemara kandang tentu lebih dipilih. sebaliknya untuk para pendaki pro, mungkin lebih suka lewat jalur cemara sewu. kedua jalur menawarkan pemandangan yang berbeda dan tantangan yang berbeda pula. dengan adanya dua opsi jalur yang sudah umum dipakai para pendaki ini, beberapa tentu ada yang memilih untuk:
- naik dari cemara kandang, turun lewat cemara sewu
- naik dari cemara kandang, turun lewat cemara kandang juga
- naik dari cemara sewu, turun lewat cemara kandang
- naik dari cemara sewu, turun lewat cemara sewu juga
nah, karena pada waktu itu rombongan kami masih ada beberapa yang belum pernah sama sekali naik gunung seperti aku, maka panitia pun memutuskan untuk menggunakan jalur cemara kandang untuk naiknya. landai meski lebih jauh jarak untuk menempuh perjalanan ke puncak. keputusan untuk turun lewat mana, katanya akan diputuskan nanti setelah nyampai di puncak, dan tergantung sikon (situasi kondisi).
begitulah, bermodalkan nekat, akupun ikutan nginthil (mengekor) kakak-kakak kelasku dan teman-teman kampus seangkatanku yang sudah mahir dan terbiasa naik gunung. akunya sendiri cuman modal dengkul, pengalaman nol besar! di pikiranku waktu itu sih, apa susahnya naik gunung, kan cuma jalan kaki doank hehe.
kenyataannnya? ternyata tak semudah yang kubayangkan, saudara-saudara! #mulai_lebay
***
setelah seluruh rombongan melengkapi syarat-syarat pelaporan di posko paling bawah untuk pendakian melalui jalur cemara kandang, dengan semangat empat lima, kamipun mulai berjalan!
berjalan doank kok, apa susahnya ya kan?
waktu itu jam mulai menunjukkan kira-kira mendekati pukul 10 malam! hah? malam? iya. naik gunung memang rata-rata seringnya dilakukan pada malam hari, pemirsa. yang udah piawai pasti ngerti deh. tujuannya apa naik gunung malem-malem, kan jadi nggak bisa lihat pemandangan alam? tujuan utamanya sih supaya bisa ngepasin pas sampai puncak bisa lihat matahari terbit yang katanya sangat spektakulerrrrrr....
matahari terbit di puncak lawu. foto minjem dari sini |
makanya para pendaki gunung rela bergelap-gelapan mendaki, ya supaya ngepasin nyampai puncak pas subuh, dan bisa lihat langit merekah merah di cakrawala untuk mengawali sebuah hari. indah sekaliiiii....
naik gunung malam jadinya gelap donk? ya iyalah. gelap banget!
gimana bisa ngelihat jalur pendakian kalau gelap? ya pake senter donk hehe. waktu itu juga nggak semuanya bawa bekal senter. karena kami rombongan, jadi jalannya beriringan gitu. trus ada satu-dua pendaki yang sudah mahir di antara kami jadi pembuka jalan, alias jalan duluan paling depan. kami yang masih pemula di tengah-tengah. setelah kami, ada dua orang lagi paling belakang yang juga sudah berpengalaman, untuk bertugas sebagai tim penyapu. artinya mereka memastikan nggak ada satupun dari kami di rombongan ini yang tertinggal karena sesuatu dan lain hal. misalnya kecapean, mengalami cedera, atau diculik wewe, hehe.
nah, dengan adanya tim penyapu, selambat apapun kami bergerak merayap naik, tim penyapu harus selalu berada di paling belakang rombongan, demi keamanan dan keselamatan.
keren yah panitianya! semua-mua dipikirin sampai segitunya.
karena aku belum pernah naik gunung, akupun dengan semangat membara mulai berjalan sambil ngobrol berhaha-hihi tertawa-tawa dengan teman-temanku. beberapa menit kemudian ketika jalanan mulai menanjak, kami mulai mengurangi ngobrol dan lebih banyak diam. karena belum apa-apa udah mulai ngos-ngosan juga sih haha.
karena malam, di kiri-kanan jalur pendakian cuma terlihat pohon-pohon tinggi besar dan bayangan hitamnya yang kelihatan mengerikan menari-nari di kejauhan dihempus angin. kadang-kadang juga terdengar suara binatang malam yang menjerit-jerit melengking seolah-olah marah karena tidurnya kami ganggu.
seperti inilah jalur pendakian gunung lawu di siang hari. licin dan sempit ya |
kalau sendirian, pasti deh sudah lari terbirit-birit di situasi yang demikian. karena memang kami melewati rute awal yang notabene melintasi tengah-tengah hutan, menyusuri jalanan setapak yang lebarnya nggak lebih dari satu meter, berupa tanah liat yang padat atau bebatuan yang kasar dan licin permukaannya karena sering dilewati pendaki. di satu sisi biasanya adalah jurang yang cukup dalam, sisi satunya lagi tanjakan yang ditumbuhi pohon-pohon besar tadi.
dan ingat, kami mendakinya malam hari ya, gelap!
***
perjalanan berjalan kaki malam itu belum terlalu menguras tenagaku karena memang jalurnya yang lumayan landai, dan karena pada dasarnya aku memang senang jalan kaki. sampai akhirnya suatu ketika di saat sedang berjalan tiba-tiba leherku rasanya seperti tercekik!! wahhhh, aku diserang weweeee....
panik donk...
untunglah salah satu kakak kelas waktu itu menjelaskan dengan tenang dan kalem, kalau lapisan oksigen sudah mulai menipis. jadi kami diminta waspada dan atur nafas dengan lebih baik. woalah, pantesan rasanya kayak hampir kehabisan nafas, ternyata semakin tinggi kita mendaki, oksigennya semakin berkurang. tepok jidat! meneketehe, hehe.... pemula yang sok-sokan ya begini ini deh. cih!
ketika ada beberapa teman lagi yang juga merasa kehabisan nafas dan lehernya seperti tercekik, kamipun istirahat sejenak, untuk atur nafas. nggak bisa lama-lama istirahatnya, kamipun harus berjalan lagi. kalau nggak, bisa telat nyampai ke puncak nggak kebagian matahari terbit, katanya.
oke, oke... (sambil ngos-ngosan)
dan benar saja, setelah serangan oksigen tipis itu, perjalanan ke pos-pos berikutnya terasa semakin berat, dan berat, dan berat!
ternyata naik gunung itu nggak bisa cuma modal jalan kaki doank haha...#dikeplak
untunglah kami dikelilingi oleh beberapa orang pendaki yang sudah paham jalur pendakian dan sudah punya ilmu pengetahuan banyak tentang gunung. kalau nggak, wuihhh, bisa membahayakan keselamatan lho. makanya bagi para pemula yang pengin naik gunung, jangan pergi sendirian atau cuma dengan teman yang belum pengalaman yah. minimal harus ada satu yang sudah mahir! catetttt...
***
malam semakin beranjak naik, bulan yang bersinar malam itu pelan-pelan bergeser posisinya di cakrawala. pelan tapi pasti, kamipun merayap menaiki punggung gunung lawu yang katanya angker itu. ada beberapa pos yang kami lewati di mana para pendaki bisa beristirahat. tentu saja di perjalanan kami juga bertemu atau bahkan disalip oleh rombongan pendaki-pendaki yang lain. malam itu lumayan ramai memang.
bukan malam satu suro sih sebenernya waktu itu. karena katanya kalau malam satu suro lebih ramai lagi lho, gunung lawu. katanyaaa. bahkan katanya ada yang jualan juga! hmm, bawa dagangannya gimana tuh ya kalau aku bawa badan aja susyahhh haha.
seiring bertambahnya ketinggian dari atas permukaan laut, jenis pepohonan yang kami lewati pun pelan-pelan juga berubah. kalau di bawah tadi pohonnya tinggi besar, pelan tapi pasti pohon-pohon di sekitar kami menjadi semakin pendek, dan akhirnya di pos terakhir kami cuma dikelilingi semak belukar.
tapi bukan semak sembarang semak, karena semak-semak mendekati puncak lawu adalah semak tercantik di dunia, yaitu semak bunga edelweis!
ini foto edelweis semeru sih, tapi kira-kira ya begitulah |
bunga edelweis yang juga sering disebut sebagai bunga keabadian, karena kalau dipetik dan dikeringkan nggak bakal rontok, katanya hehe, para pendaki gunung suka ngerampas, metik-metik, dan dengan semena-mena panen edelweis meski pas bukan musim berbunga sekalipun. buat kalian, kalau nanti naik gunung yang ada edelweisnya, jangan metik-metik yah. nikmati aja keindahan alam dengan mata kepala, jangan keburu nafsu untuk ngerusak atau ngebawa pulang keindahan itu. nanti yang lain nggak kebagian donk #sok_bijak :-)
aku waktu itu kayaknya bawa pulang oleh-oleh seikat edelwies juga sih, nggak metik donk, tapi beli di penjual bunga di bawah gunung. ini juga praktek yang nggak cinta alam sebenernya. karena banyak yang beli, jadi para penjual ini yang jadi tukang metik. sama aja yah ngerusak juga. lain kali jangan beli juga berarti. eh tapi itu kan mata pencaharian mereka, gimana donk.
ah, jadi serba salah hehe.
dan aku inget banget waktu itu, ketika kami istirahat di posko terakhir sebelum puncak, salah seorang teman yang kebetulan bawa-bawa termometer (hihi kurang kerjaan ya), tapi bermanfaat sih termometernya, di posko itu aku sempat ngalamin kedinginan akut pertama kali dalam sejarah hidupku. padahal suhu 4 derajat selsius doank lho, kata termometer!
terlahir di negara tropis, belum pernah keluar negeri sama sekali waktu itu, nggak pernah sekalipun pergi ke tempat yang sangat dingin, apalagi sampai terkunci di dalam freezer haha, badanku sempat syok kena suhu 4 derajat. mungkin juga karena perlengkapan naik gunungku kurang yahud.
ya namanya juga bukan pencinta alam sejati, mana punya jaket-jaket mahal yang berbahan thermal anti-dingin itu. kalau nggak salah aku waktu itu cuma pakai jaket tebal warna merah-biru donker, itupun hasil minjem kakak sepupuku yang kebetulan juga lagi kuliah di jogja, pakai topi maling (balaklava, yang cuma kelihatan mata itu lho), sama pake celana panjang training yang buat olah raga.
nggak banget kan?
untunglah aku nggak sampai terserang hipotermia (hypothermia), apalagi frostbite! oi, oi, oi, ini naik lawu oi, sebuah gunung di katulistiwa, bukan himalaya, apalagi everest! sok banget, frostbite segala haha.
tapi beneran lho, kalau nggak pernah kena dingin tahu-tahu harus melawan suhu 4 derajat itu siksaannya sungguh aduhai, nusuk sampai ke tulang belulang. sekarang sudah tinggal di inggris lama, suhu 4 derajat sih masih bisa kibas rambut dan jalan kali cantik pakai legging doank nggak pake sarung tangan. ngalamin suhu minus duapuluh aja masih santai, haha. nggaya kan?!
***
begitulah, saat itu aku inget banget salah seorang kakak kelasku yang baik hati dan sudah mahir, begitu tahu beberapa dari kami termasuk aku nggak sanggup jalan kaki lagi karena terlalu menggigil, segera mengeluarkan senjata andalan pendaki gunung kalau kedinginan, yaitu parafin saudara-saudara! bentuknya mirip lilin (emang semacam lilin itu sih), tapi dicetak kotak-kotak gitu. begitu dibakar, kamipun berkerumun mengelilingi api unggun kecil dari parafin, untuk menghangatkan badan.
dan manjur!
begitu hawa hangat menjalar dari api unggun parafin menembus kulit dan badan, serasa seperti baterei mau habis ketemu charger, hehe, nggak banget kan analoginya. tapi ya gitu deh, kami jadi semangat lagi pokoknya. mana udah di pos paling akhir juga kan, sedikit lagi puncak udah menunggu. apalagi di ufuk sana, sudah kelihatan semburat oranye, wahhh, bisa nggak kebagian matahari terbit kalau nggak buru-buru ke puncak.
kami pun mulai berjalan lagi. terseok-seok!
dari ht atau walkie talkie yang dibawa panitia, yang jadi sarana berkomunikasi dari pemandu paling depan dengan penyapu ranjau di paling belakang, beberapa orang di barisan depan sudah ada yang nyampe puncak duluan lho, ternyata.
mereka yang udah jago naik gunung tuh kadang malah lari-larian naik turun ngecek situasi dan ngebantuin orang-orang yang payah kayak aku ini untuk terus berjalan, nggak nyerah haha. atau kadang mereka estafet parafin, atau air minum, atau makanan kecil gitu deh, bagi-bagiin ke rombongan. padahal barisan paling depan ke yang paling belakang bisa jauh banget lho, kepisahnya. mana mau yang udah jago naik gunung nungguin barisan belakang yang jalannya ngerayap kayak siput gitu. aku termasuk si siput itu, hehe.
tapi memang pendaki sejati itu selalu punya rasa kesetiakawanan yang tinggi yah, acung jempol deh buat mereka. saking lincahnya, para jagoan ini tuh mirip kambing gunung deh, hehe.
nggak segan-segan para kambing gunung ini naik turun ngecek barisan, nggak segan-segan pula mereka ngebantuin yang kepayahan, bahkan nolong rombongan lain sekalipun, kalau ada yang butuh bantuan. keren lah pokoknya, kambing eh anak gunung itu :-)
***
akhirnya, setelah berjalan terseok-seok semalaman nggak tidur, menggigil kedinginan, dan berkali-kali sempat putus asa bahkan sampai pada satu waktu pengin balik kanan turun lagi balik ke jogja, yang mana aku langsung dibentak sama panitia karena cengeng haha, sampai akhirnya cuma bisa mengutuk diri sendiri kenapa mau aja sok-sokan ikutan naik gunung padahal nggak pernah jalan jauh sama sekali sebelumnya, akhir perjalanan pun mulai terlihat di kejauhan.
puncak tertinggi lawu hargo dumilah sudah nggak jauh lagi, pemirsa!
dan karena hari sudah mau menjelang pagi, samar-samar puncak gunung lawu pun mulai kelihatan di keremangan fajar. tapi, tapi, tapi, meski udah kelihatan samar-samar, ternyata untuk jalan ke puncak masih jauh aja lho, apalagi kaki udah letoy banget dan tenaga udah habis-habisan gini, belum lagi hawa pagi makin tambah dingin aja. payah banget aku yah, haha. dan bisalah ditebak akhir cerita naik gunung yang cemen banget ini, aku nyampe ke puncaknya telat donk!
meski telat, tapi karena udah ngelewatin posko paling akhir, masih bisa sih menikmati matahari terbit yang spektakuler itu, pake mata kepala sendiri. dan karena jaman itu belum musim kamera digital, apalagi kamera hp, lha hp aja nggak ada yang punya, belum diproduksi haha, jadi foto-fotonya ya ga sering-sering, supaya film roll nya nggak cepat habis.
karena nggak sibuk foto-foto, nggak sibuk jepret-jepret, apalagi sibuk selfie pake tongsis, jadi jaman itu kami bisa menikmati keindahan alam dengan lebih khusyuk, dibanding generasi sekarang, generasi selfie. yang pastinya kalau naik gunung lebih sibuk selfie daripada menikmati alam. sirik aja sih aku padahal karna waktu itu foto-fotonya nggak banyak #krik
***
ketika akhirnya aku nyampe di puncak, foto di sebelah tugu hargo dumilah untuk kenang-kenangan, lalu tepar terkapar di tanah ngumpulin tenaga dan nafas, rombongan barisan depan yang nyampe duluan bahkan ketika kami masih istirahat kedinginan di posko akhir, pamit udah mau turun duluan. kelamaan nungguin kami katanya, ampe bosen di puncak nggak tau mau ngapain haha. karena emang area puncak nggak luas sih. kalau kebanyakan pendaki dari banyak rombongan pada ngumpul semua di sana ya rada sesak juga.
sementara aku dan beberapa teman istirahat, seorang kakak kelas iseng-iseng bikin percobaan sains. pengin ngebuktiin kalau air itu bisa mendidih di bawah suhu 100 derajat, di atas ketinggian tertentu di atas permukaan air laut. dan puncak gunung adalah tempat yang ideal untuk itu. sampai bela-belain lho dia bawa panci dari kos-kosan di ranselnya haha. niat bangetttt saintis yang satu itu.
eh, tapi kok si mas itu sekarang malah nyaleg yah, pindah haluan ke politik, piye toh mas, hihi.
kira-kira dua jam kemudian, kami rombongan siput dan penyapu ranjau pun mulai berjalan turun. karena pengin nyampai bawah cepet, panitia memutuskan untuk turun lewat rute pendek tapi terjal, cemara sewu. jadi kami bener-bener muterin gunung lawu karena naik dari jawa tengah turun ke jawa timur hehe.
sumber: wisatagunung.com |
dan karena hari sudah pagi dan matahari bersinar terang benderang, danau sarangan yang terkenal indah dan cantik itu bisa kelihatan jelas dari atas gunung, serta bisa kita nikmati selama perjalanan rute turun ke cemara sewu. asyik kan?
nggak juga sih!
turun gunung itu ternyata lebih menyakitkan daripada naik gunung pemirsa, haha. ketipu lagi aku lah ceritanya. kirain turun mah lebih gampang gitu tinggal ngegelinding doank apa susahnya haha. ternyata melewati bebatuan curam, terjal, berliku dan cadas itu harus ekstra hati-hati. kalau tergelincir, kepeleset, patah kaki, keseleo, tamat lah! harus ditandu, nggak bisa jalan.
karena ini pula, aku juga jadi pelan banget turunnya, kayak siput lagi. berangkat turun dari puncak kira-kira jam 8 pagi, nyampe bawah jam 2 siang, hahaha.
begitu akhirnya nyampe di bawah dengan selamat, semua rombongan yang udah nyampe duluan dari kapan tahu, udah siap mau pulang ke terminal bus. aku yang nggak sempat istirahat, ya langsung ikutan cabut juga meski masih capek. salah sendiri siput!
butuh kira-kira dua minggu setelah itu buat badanku yang rasanya hampir remuk seperti habis lari maraton bolak-balik pulang digebukin orang sekampung, untuk pulih total.
kapok naik gunung?
waktu itu setelah pulih, ada niatan sih pengin naik lagi. nyoba gunung yang lain. tapi entah kenapa nggak pernah kesampaian. mungkin memang aku dasarnya pemalas ya, nggak suka olah raga, dan kurang berjiwa petualang, jadi ada aja alasan untuk nggak ikut kalau ada teman yang ngajakin naik gunung lagi. atau, karna trauma lebih tepatnya, hahaha.
kamu, sering atau pernah naik gunung juga?
gunung apa?
butuh kira-kira dua minggu setelah itu buat badanku yang rasanya hampir remuk seperti habis lari maraton bolak-balik pulang digebukin orang sekampung, untuk pulih total.
kapok naik gunung?
waktu itu setelah pulih, ada niatan sih pengin naik lagi. nyoba gunung yang lain. tapi entah kenapa nggak pernah kesampaian. mungkin memang aku dasarnya pemalas ya, nggak suka olah raga, dan kurang berjiwa petualang, jadi ada aja alasan untuk nggak ikut kalau ada teman yang ngajakin naik gunung lagi. atau, karna trauma lebih tepatnya, hahaha.
kamu, sering atau pernah naik gunung juga?
gunung apa?
Pernah sekalii, gunung ungaran hahaha itupun karena ditantang ama temen mbak hihihi abis itu udah, ini badan tambah melar, gak berani lagi hahaha
ReplyDeletenggak papa gunung ungaran juga, judulnya tetep naik gunung kan 😄 hehe
DeleteBaru nonton everest kemaren *ketinggalan* jadi pengen ngedaki gunung, eh tambah baca postingan ini, tambah pengeeennn, tapi nunggu krucil pada gede dulu kynya baru bisa daki gunung, heheu
ReplyDeletewahhhh, kata suamiku juga bagus itu film, dari kisah nyata pulak! pasti seru. tapi suka deg degan ih kalau nonton film petualangan disaster gitu. jadi judulnya nih, aku belum nonton everest hahahaha....
Deletenggak papa bu, nanti kalau krucil sudah agak besar sudah bisa diajak kok naik gunung kecil2an dulu. temenku tuh ibu2 yg dari dulu emang anak gunung, sekarang kalau naik gunung selalu sama anaknya :-)
keluarga gunung judulnya haha
Terakhir aku naik ke gunung lawu, di atas udah ada penjual tempe goreng hangat, kopi dan indomie. mereka (ibu-ibu) juga bawa kompor dan memasak diatas gunung...
ReplyDeleteserius? wahhhh, keren ya. gimana itu naiknya ya? pastinya peralatannya ditinggal kalau turun gunung, naik lagi tinggal bawa bahan-bahan masakan? nyimpennya di mana ya biar nggak cepet busuk, kan nggak ada kulkas. eh tapi di atas gunung dingin sih hehe...
Deletesalut euy sama ibu-ibu tersebut, nyari nafkah sampai 3000 meter di atas permukaan laut :-)
Puncak lawu pengen banget kesana
ReplyDeleteiya yuk, ke sana lagi ��
DeleteNext Trip gan kita kesana,,ini masih mau atur jadwal buat trip G.Ciremai
DeleteOh God, saya aseli diimpor dari kaki gunung Lawu, Magetan
ReplyDeletewahhh, orang Magetan udah pernah ke Hargo Dumillah belum ya hehe
Delete