tulisan ini bakalan serius, mungkin rada sedih juga. sedih mungkin bukan kata yang tepat sih, tapi prihatin aja deh. kok malah kayak pak esbeye yang selalu bilang prihatin π
ide tulisan ini sendiri bukan datang dari pengalaman pribadi, tapi asalnya dari postingan orang lain di thread, yang setelah kubaca-baca komen-komennya, ternyata topik ini cukup menggelitik dan menarik untuk dibahas. makanya aku lalu kepikiran untuk kujadikan bahan tulisan di blog ini karena sedikit banyak, dan sebagai seorang diaspora, topik ini relevan juga.
kenapa judulnya sapi perah?
ya karena kebanyakan para diaspora itu ternyata mempunyai keluhan yang hampir sama, yang mana mereka itu merasa diporotin duitnya oleh keluarga atau teman-teman mereka di tanah air! dan beberapa merasa kesulitan untuk keluar dari lingkaran keadaan mereka tersebut, tapi bingung dan ngga tahu kudu gimana selain ngeluh dan curhat di media internet seperti yang aku nemu di thread itu. karena kondisi yang kurang menyenangkan inilah, kusebut saja keadaan ini seperti keadaan seekor sapi yang terus menerus diambil susunya oleh kita manusia, tanpa mereka bisa protes.
jadi bener memang kayak sapi perah kan? iya-in aja biar cepet! π
sapi perah |
postingan asli di thread itu kurang lebihnya begini, aku sadur sedikit supaya engga terekspos identitas yang mosting ya. kira-kira begini tulisan awalnya, ini dari sudut pandang si pemilik akun ya, bukan sudut pandangku.
"berkomunikasi dengan keluarga di tanah air itu seringnya bikin malas, karena bukannya mereka nanyain gimana kabar dan kondisi aku di sini, apakah baik-baik saja, atau ada masalah karena memang di luar negeri itu semuanya dilakukan sendiri, engga ada yang bantuin seperti kalau hidup di tanah air. eh, malah selalu ditanya soal uang, dan minta kiriman. sementara aku sendiri ngga kerja, dan semua urusan di luar negeri itu perlu dana yang lumayan banyak!"
utasan inipun jadi rame!
banyak diaspora-diaspora lain yang tersebar di berbagai negara pun akhirnya pada angkat suara. dari banyak komen yang ditulis, selain mereka yang merasa simpatik dan memberikan semangat positif kepada si diaspora yang posting itu, rata-rata isi komennya adalah keluhan yang serupa dari para diaspora lainnya.
ini beberapa komen yang juga kusadur dari berbagai macam sudut pandang dan dari diaspora yang berbeda-beda dengan negara tempat mereka tinggal yang berbeda juga. kupilih yang relevan dengan topik ini saja ya. dari banyak komen, memang kalau dilihat rata-rata keluhannya mirip semua. coba baca deh!
"serba salah memang, kalau dikasih uang selalu kurang, engga dikasih ngata-ngatain"
"sama, keluargaku juga yang ditanyakan selalu uang, uang, dan uang, dipikirnya kalau tinggal di luar negeri itu punya pohon uang dan kaya raya, padahal justru di luar semua lebih mahal!"
"kebanyakan keluarga di tanah air memang begitu, kalau komunikasi yang ditanyakan pertama kali pasti uang. kalau berusaha dijelaskan kita yang malah dicap sombong atau jahat"
"suka iri sama temen yang keluarganya di indonesia justru support ngirim-ngirim kebutuhan hidup dan bahan makanan dari indonesia karena paham kalau beli di luar negeri jauh lebih mahal"
"aku juga sama, tiap ditelpon yang ditanya uang terus, bukannya kabar, sedih banget"
"teman-temanku juga ngga pernah nanya kabar, yang ditanyakan cuma pada minta dicarikan kerja, dicarikan jodoh, atau minta oleh-oleh"
"ternyata sama, kita satu nasib. sampai tetangga jauh ngga kenal juga pada pinjam uang"
seperti itulah, isinya. parah ya π mata duitan sekali manusia indonesia ternyata. tapi kalau dipikir-pikir lagi, dan memang dengan kondisi pertukaran mata uang rupiah yang selalu lebih rendah dibanding kekuatan nilai tukar mata uang asing seperti euro, dollar atau poundsterling, memang sebenernya kalau semua duit di dunia ini dirupiahkan, ya duit-duit yang berada di luar negeri itu jumlahnya jauh lebih banyak dibanding duit di dalam negeri.
kecuali, negara-negara yang ekonominya di bawah indonesia ya. tapi sepertinya memang lebih sedikit orang indonesia yang pindah ke negara yang lebih miskin sih. lebih banyaknya ya diaspora itu tinggalnya di negara-negara yang lebih maju dari indonesia.
jadi secara otomatis, manusia-manusia indonesia yang mainnya pada kurang jauh ini, langsung otaknya mikir, wah, mereka yang tinggal di luar negeri pasti langsung kaya raya ya. lihat aja berapa duitnya kalau dirupiahkan.
sumbu pendek sih!
alias daya pikir rendah, atau daya pikir terbatas mungkin ya. memang yang mereka pahami itu benar, bahwa duit luar negeri itu jauh lebih banyak kalau dirupiahkan. tapi mereka engga paham, dan engga bakalan bisa paham meski dijelaskan atau dikasih tahu, bahwa kebutuhan hidup di luar negeri itu sangat jauh berbeda dengan kebutuhan hidup di indonesia. masalahnya mereka engga bakal bisa ngerti itu kecuali mereka juga pindah hidup di luar negeri.
jadinya semuanya ya mikirnya seperti itu, bahwa tinggal di luar negeri itu pasti langsung otomatis kaya raya, banyak duitnya, dan boleh dipalakin! makanya tiap komunikasi pasti yang ada di kepala isinya adalah minta uang, minta uang, dan minta uang. kok kayak preman pasar π mereka cuma mikirnya kan memang uang di luar negeri itu banyak sekali, kalau dirupiahkan. mentalitas 'apa-apa dirupiahkan' seperti ini yang bahaya. kenapa bisa bahaya? baca deh tulisan lamaku tentang rupiah mentality di tautan ini.
dilematis ya?
kayak ngomong sama tembok. dibilangin juga sulit, ngga bakal paham. kecuali mereka-mereka yang memang pernah atau sering ke luar negeri. paham dan ngerti meskipun mata uang luar negeri itu kalau dirupiahin jadi gede nominalnya, tapi dengan tingkat kebutuhan hidup di luar yang jelas-jelas beda banget dengan harga-harga barang dan jasa di indonesia, ya duit sebanyak itu sebenernya ya pas-pasan juga buat hidup. bahkan banyak yang merasa kurang!
nah, kesian kan para diaspora yang buat hidup sehari-hari saja kekurangan, tekanan hidup sehari-hari banyak, ngurus anak suami, engga kerja, tagihan ini itu datang silih berganti, eh, pas komunikasi sama keluarga di indonesia yang diharapkan bisa jadi tempat berkeluh kesah, malah cuma minta duit, duit, dan duit. gimana ngga malah nambah stress, coba. sudah jatuh, tertimpa kontainerπ
ngga heran makanya, pas ada yang milih berkeluh kesah di sosmed seperti di platform thread di atas tadi, langsung rame. karena ternyata yang mengalami kasus-kasus serupa ternyata banyak sekali.
trus apa donk ya, solusi dari situasi seperti ini. karena engga mungkin juga mengedukasi keluarga-keluarga diaspora yang masih terjebak seperti katak dalam tempurung ini. tinggalnya di indonesia, ngga pernah keluar negeri, dan tahunya cuma sebatas pengetahuan sederhana kalau "yang tinggal di luar negeri itu pasti banyak duitnya"?
di postingan thread itu selain mereka yang komen dengan keluhan serupa, juga ada beberapa kok yang ngasih saran gimana supaya bisa mengurangi tekanan ke mental para diaspora yang dianggap jadi sapi perah oleh keluarga mereka di tanah air. meskipun mungkin saran-saran yang diberikan ngga njamin bakalan manjur kalau diterapkan, tapi di beberapa kasus memang berhasil. tergantung situasi dan kondisi keluarga masing-masing mungkin ya. jadi para diaspora sendirilah yang tahu kira-kira saran mana yang bisa dipakai untuk menyadarkan keluarga mereka.
beberapa di antaranya kusadur di bawah ini.
"ketusin saja putus hubungan. kita yang kerja keras cari duit, eh mereka cuma minta!"
"beri pengertian ke keluarga supaya engga jadi beban satu sama lain. hidup itu tanggung jawab masing-masing"
"jelaskan kondisi di luar negeri, dengan risiko putus hubungan keluarga. tapi mending begitu daripada toksik"
"buat batasan sejak awal, kalau urusan uang harus dipisahkan dari urusan kekeluargaan. supaya ngga jadi ketergantungan"
bagus-bagus sih saran-sarannya sebenernya, dan masuk akal juga. tapi berhasil engganya memang kudu disesuaikan dengan keadaan. risiko paling parah memang putusnya hubungan kekeluargaan sih. dan banyak cerita seperti ini yang sudah terjadi. tapi memang putus hubungan keluarga juga ngga harus nunggu ada yang tinggal di luar negeri sih ya. yang sama-sama tinggal di indonesia tapi berantem dan akhirnya putus juga buanyakkkkk π
gimana dengan ceritaku pribadi?
meskipun aku juga seorang diaspora, dan kebetulan aku juga selalu kerja full-time sejak lulus kuliah di manchester tahun 2007 yang lalu, jadi aku selalu punya duit sendiri, tapi aku engga sampai merasa jadi sapi perah. dan di lingkungan keluargaku syukurlah secara garis besar engga sampai seperti cerita di atas.
mungkin karena aku yang paling galak dan tegas di antara semua orang di keluargaku, jadi mana ada yang berani malak, yang dipalak udah preman π engga gitu juga dink. kalau di kasusku, lebih ke pengertian dan pemahaman saja. kebetulan hampir semua keluargaku sudah pernah keluar negeri. bukan karena mereka kaya raya, tapi karena ada kesempatan dan aku pas ada rejeki. daya pikir dan kemampuan memahami juga berperan di sini. keluargaku paham kalau meski duit pounsterling kalau dirupiahkan jadi banyak, tapi bukan berarti lalu mereka seenaknya bisa ngerampok hasil kerja kerasku begitu saja.
di lain pihak, aku juga berusaha menyeimbangkan pengertian mereka dengan simpatikku ke keluarga. karena memang aku gajian poundsterling, kalau pas ada bonus dari perusahaan, atau pas aku punya rejeki lebih, aku juga pasti bagi-bagi ke mereka tanpa diminta. dan kalau ada urusan mendadak atau darurat seperti musibah atau sakit, ya pasti aku kirim-kirim untuk meringankan beban. sesimpel itu sih.
tapi aku juga paham, diaspora lain ngga semuanya memiliki keluarga yang pengertian seperti itu. makanya aku merasa prihatin dengan kondisi mereka. mudah-mudahan dengan ngetik topik ini jadi tulisan di blog, sedikit banyak bisa dibaca oleh pihak-pihak yang semoga bisa berubah.
pesenku, bagi kalian yang mbaca tulisan ini sampai bagian akhir, dan punya saudara atau keluarga yang jadi diaspora di luar negeri, tolong deh direnungkan lagi. usahakan ubah pola pikir mentalitas rupiah kalian dan anggapan kalau mereka yang tinggal di luar negeri itu layak untuk dipalak dan diporotin duitnya. karena itu berarti kalian ngga jauh beda dari preman. ingat, tangan di atas selalu lebih baik daripada tangan di bawah.
dengan kata lain, kalau bisa ngasih, jangan minta!
No comments:
Post a Comment