topik ini pernah dibahas di salah satu grup whatsapp yang aku gabung sejak lama.
waktu itu aku sempat cerita sedikit tentang grup yang suka tiba-tiba ngebahas topik-topik ajaib ini. termasuk topik tentang "si tukang ngambeg" yang akan jadi ide postingan kali ini.
kebanyakan para bapak-bapak sih ya, yang sering mengeluhkan kalau istrinya itu adalah si tukang ngambeg. kalau mau bercermin, sebenernya akupun dulu masuk juga dalam kategori ini, yaitu kategori istri-istri yang dikit-dikit ngambeg, hehe. tapi sekarang udah engga tuh.
kok bisa berubah? kok istri-istri lain masih banyak yang belum berubah? kenapa bisa begitu? apa titik tolaknya ketika memutuskan untuk berubah? dan apakah siasat ini bisa juga diterapkan oleh para istri yang sampe sekarang masih juga jadi si tukang ngambeg?
yuk kita bahas!
***
memang kehidupan paska pernikahan ya begitu itu.
dikit-dikit ngambeg. dikit-dikit ngambeg. masalahnya, pernikahan itu kan sebuah perjalanan, di mana dua kepala dijadikan satu. pas awal-awal kenalan trus pacaran sih dunia serasa milik berdua doank yang lain ngontrak!
semua serba indah, kecocokan demi kecocokan mulai terlihat. apa-apa kompakan. termasuk visi dan misi untuk melihat ke masa depan. jadinya nikah deh.
sesudah nikah, baru tuh, belang-belangnya satu per satu mulai muncul, hehe. ketidakcocokan-ketidakcocokan mulai pelan-pelan tapi pasti terlihat. namanya juga manusia ya, engga ada satu pun yang sempurna. kalaupun ada yang mendekati sempurna, pasangannya yang kurang sempurna, jadi tetep ngga bisa klop 100% semua selalu cocok dan senada seirama.
ketidakcocokan-ketidakcocokan dalam perjalanan mengarungi maghligai pernikahan ini kalau engga dipahami berdua, dikomunikasikan dengan kepala adem, dan dimusyawarahkan untuk dicarikan solusi atau jalan tengahnya berdua, ya itu tadi. salah satu atau salah dua pasti ngambeg jadinya. dan kebanyakan yang ngambeg itu ternyata pihak cewek menurut survei di group whatsapp tadi.
sementara pihak cowok katanya, dan biasanya, cuma garuk-garuk kepala doank ngga pernah paham kenapa istrinya dikit-dikit ngambeg, umumnya seperti itu.
ya kan ya kan?
***
fenomena ini cukup unik sih. unik karena ternyata, cuma perempuan yang secara fisik mempunyai satu hal yang ngga dimiliki kaum laki-laki yaitu hormon kesuburan. hormon ini sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di bumi. hormon kesuburan ini yang mendikte tubuh perempuan sejak lahir, lalu mengalami masa menstruasi dengan siklus pms-nya tiap bulan dan semua dramanya, kemudian dramanya berganti jadi drama penurunan kesuburan di masa peri-menopause, sampai akhirnya kesuburan itu pergi meninggalkan tubuh si perempuan di masa menopause, yang sudah pernah kubahas di sini.
era ini bisa berlangsung sejak masa remaja usia 10-15 sampai masa menjelang lansia umur 50-55 an. selama 40 tahun itu kehidupan perempuan dikendalikan oleh naik turunnya hormonal dalam tubuh yang sedikit banyak juga mengendalikan emosi dan mood perempuan sehari-hari.
bayangkan, selama 40 tahun hawanya pengin ngamuk terus hehe.
hormonal ini juga jadi penyebab yang memicu banyak hal. dari urusan tingkat kepedean secara umum, perasaan selalu khawatir, selalu resah dan rungsing, selalu pengin marah, stress, bahkan depresi. kenyataan yang engga sesuai harapan dan akhirnya menimbulkan rasa kecewa yang bertubi-tubi, juga bisa memicu tingkat stress kaum perempuan. apalagi hidup di dunia yang masih ada juga konsep patriarki, di mana posisi sosial perempuan selalu di bawah laki-laki baik dari segi kekuasaan dalam pengambilan keputusan maupun dari segi finansial.
banyak ya ternyata penyebabnya, mengapa para istri itu selalu ngambeg.
sementara laki-laki karena secara anatomi engga punya siklus hormonal bulanan, mereka engga akan pernah paham. mereka tau kalau istrinya "aneh" tapi mereka engga pernah bisa mengerti sepenuhnya karena engga akan pernah ngalamin yang kita, para perempuan ini, alami. sejak jaman adam dan hawa, memang seperti itu. kadang para bapak-bapak ini berusaha mengerti, kalau yang bener-bener sadar dan ada keinginan untuk itu ya. tapi sepengin mengertinya mereka, tetep saja engga akan bisa sepenuhnya paham. apalagi bapak-bapak yang sama sekali engga peduli. udah deh, perang dunia ketiga tiap hari sampe ujung-ujungnya cerai.
ibaratnya, punya istri itu kayak punya "monster" -dalam tanda kutip ya- di rumah!
monster yang dikendalikan oleh naik turun fluktuasi keadaan hormonal dalam tubuh. monster yang tiap saat bisa ngamuk, mengaum, dan ngambeg. kalau para bapak-bapak ini paham gimana caranya mengelola situasi, kondisi dan perasaan si monster ini, ya rumah tangga akan baik-baik saja. sebaliknya kalau monster ini diperlakukan dengan kurang pas, ya gitu deh, meledak-ledak tiap saat. apalagi kalau malah monsternya coba dikurung, atau dibatasi, apalagi dikontrol dengan semena-mena karena misalnya secara finansial, si perempuan menjadi ketergantungan terhadap pihak laki-laki.
***
di awal-awal pernikahan, kurang lebih 5 tahun pertama, biasanya adalah masa-masa penyesuaian antara suami dan istri yang baru saja menikah.
dua kepala berbeda dibenturkan jadi satu. letupan-letupan dan friksi-friksi kecil dalam mengarungi kehidupan sehari-hari, akan terlihat pelan-pelan. di sini, bagaimana suami bersikap, dan bagaimana istri bersikap akan menentukan apakah letupan-letupan kecil dari konflik harian ini akan meledak menjadi sebuah pertengkaran atau argumen yang lebih besar.
tergantung juga dari sikap, sifat, dan pembawaan dari kedua belah pihak.
ada pasangan yang istrinya sangat pemarah dan suaminya sangat penyabar. atau sebaliknya. ada juga yang keduanya memang terlahir sebagai individu yang sabar. kalau ini sih pasti dijamin adem ayem ruamh tangganya. yang bahaya kalau dua-duanya bukan tipe penyabar, biasanya ini yang paling rentan untuk berserai di 5 tahun di awal pernikahan mereka.
akupun demikian.
pas di awal-awal baru nikah, hampir tiap saat meskipun engga tiap hari, ada saja yang mengganggu emosiku. ada saja hal atau perkataan suami yang seolah menyinggungku. ada saja kejadian yang membuat hatiku jengkel, mangkel, dan gondok. kalau udah gitu, aku diem. ngambeg. ngga mau ngomong. kalau ditanya, aku snappy, ngejawab tapi ketus, hehe.
apalagi waktu itu aku juga kerja full-time.
keadaan ini makin bertambah parah ketika aku punya anak. tau sendiri gimana galaknya itu ayam yang barusan netas telor-telornya ya kan, haha. ganggu dikit, bisa dikejar dan diserang sama induk ayam. manusia juga mirip-mirip ternyata. kata suamiku, aku dulu pas abis punya anak itu di tahun pertama karena masih cuti setahun, masih agak lumayan. pas udah balik kerja dan ngurus bayi juga, dan ngurus rumah juga meski suamiku juga sangat rajin untuk ukuran laki-laki, tetep saja, katanya aku dulu seperti "monster".
serem kalau udah ngamuk, haha 😂
kadang sebabnya cuma soal sepele sih. akupun ngga ingat apa saja yang bikin mood-ku selalu ambyar, atau bikin aku marah atau ngambeg. pokoknya semuanya serba salah ngga ada yang bener. kalau udah gitu suamiku kabur, ngumpet di kamar atas di "kantor" dia. abis itu biasanya dia negbikinin aku teh panas, trus mulai baik-baikin. abis itu ya udah, lupa. besok diulangi lagi 😁
stress kerjaan juga pengaruh sih. tapi ibu-ibu yang kerjanya ngurus rumah tangga juga ngga kalah stress lho jangan salah. kudu ngurus keuangan keluarga, dikasih jatah berapapun dari suami kudu cukup, rumah kudu selalu bersih rapi ngga berantakan, anak-anak kudu keurus dan segala macam tetek bengek lainnya. tekanan-tekanan hidup sehari-hari ini, ditambah fluktuasi kondisi hormon tubuh yang selalu berubah tiap bulan tiap minggu, memang pemicu utama kenapa kaum perempuan mudah meledak-ledak, hehe.
ngga bilang kalau ini hal yang baik untuk dilakukan dan kudu dimaklumi sih ya.
sewajar-wajarnya perempuan yang moody dan tukang ngabegan, hidup tanpa konflik dan selalu adem ayem tentunya adalah dambaan semua manusia, istri, suami, anak dan semua anggota keluarga. karena kondisi yang adem ayem itu memang membuat hidup terasa lebih membahagiakan.
capek tauk, marah-marah terus, emang enak.
***
makanya itu, ketika usia pernikahan kami mulai menuju 5 tahunan yang kedua yaitu antara 5-10 tahun, di situlah ketika pelan tapi pasti kondisi mentalku mulai berubah. aku sendiri kurang paham di mana dan kapannya, karena kan hal-hal seperti ini ngga kelihatan mata dan pelan sekali perubahannya, engga langsung terjadi dalam waktu sehari.
mungkin juga karena anak mulai beranjak gede dan agak mandiri. suami juga lebih sabar dan lebih tahu selanya, kapan kudu ngomong ke istri kapan kudu kabur hehe. dan waktu itu, secara sadar kami juga mulai menganalisa dan mengambil keputusan-keputusan besar seperti pindah rumah. karena salah satu faktor penyebab stress memang jarak tempuh dari rumah ke kantorku, yang memang lumayan jauh. berhubung sebelum masa pandemik, kita semua kan wajib ngantor ya ngga ada konsep working from home atau hybrid working. jadi praktis faktor ini sangat penting dalam mengelola kadar stress dan kesehatan mentalku.
aku dan suami akhirnya memang memutuskan untuk nyari rumah yang jaraknya agak dekat ke kantor, meski harganya naik dua kali lipat, hehe.
tapi demi kebahagiaan rumah tangga, ya kami putuskan untuk pindah, itung-itung sekalian investasi. sejak pindah rumah inilah kurasa kondisi dan kadar stressku mulai menurun. suamiku juga mulai menyadari bagaimana mengelola emosiku dan bagaimana kudu bersikap.
satu hal lagi yang paling penting untuk menyiasati masalah ini, adalah perempuan kudu sadar kalau komunikasi itu faktor yang sangat penting dalam hubungan suami istri.
klise sepertinya ya, tapi begitu banyak suami istri yang komunikasinya bermasalah. makin ke sini dengan bertambahnya usia, makin tua kami makin sadar kalau bapak-bapak itu sebetulnya adalah makluk yang istimewa. sebagai perempuan, kita ngga bisa paksakan kalau laki-laki itu kudu kayak paranormal yang tiba-tiba bisa paham apa yang kita mau sebagai istri. tanpa si istri berkomunikasi dengan jelas ke suami.
di usia pernikahan kami yang ke-14 tahun ini, akhirnya kami bisa berkomunikasi jauh lebih baik tanpa ada lagi acara ngambeg-ngambegan seperti dulu.
sekarang, kalau ada yang dirasa kurang sreg, kami selalu komunikasikan. apapun itu, kudu diutarakan isi hati dan isi kepala, kudu dijelaskan semua dengan gamblang dan dengan kepala dingin. dan dengan bahasa yang baik tentunya, tanpa teriak, tanpa emosi, dan tanpa rasa kesal. kalau mulai ada perasaan dongkol, inget hari pas kita nikah dan tujuan nikah dulu apa. pasti langsung turun dongkolnya hehe.
terakhir, niat untuk memperbaiki ini kudu dilakukan oleh kedua belah pihak!
engga bisa cuma istri atau suami yang berusaha, sementara pihak satunya masih ngga karuan komunikasi dan cara mengolah emosi dan argumentasi dalam kehidupan sehari-hari. kalau yang satu usaha mati-matian dan satunya engga peduli, ya ambyar deh.
ke laut aja 😂
No comments:
Post a Comment